KASUS KANKER GANAS DAN TUMOR JINAK PERTAMA DENGAN ECCT YANG BENJOLANNYA BISA HILANG TANPA OPERASI, MELEWATI 11 TAHUN

Bu Diana menderita kanker ganas dan tumor jinak pada kedua payudara sekaligus;  ECVT merekam aktifitas listrik pada masing-masing payudara, menunjukkan bahwa aktifitas listrik tinggi pada kanker ganas, dan rendah pada tumor jinak; Sementara ECCT menunjukkan respon yang berbeda antara tumor jinak dan kanker ganas, semakin ganas semakain cepat respon sel mengalami kematian; Baik tumor jinak dan kanker ganas yang dialami oleh Ibu Diana keduanya bisa hilang dengan ECCT tanpa operasi tanpa kemo. 


Gambar: Hasil mamografi dan ECVT yang menunjukkan kanker ganas pada payudara kiri yang sudah menyebar ke seluruh payudara dan aksila sebelum pakai alat (2013), hasil ECVT setelah pemakain 2 tahun, serta foto Ibu Diana, Dr. Warsito dan penulis (Nurbadi'ah Barliyan) tahun 2023.

-------

Oleh: Nurbadi'ah Barliyan.

"Kok kayak ada benjolan di payudaranya ya, Bu." kata Mbah tukang pijat langganan Bu Diana. Tentu saja Bu Diana kaget dan mencoba meraba benjolan yang dikatakan si Mbah.

Dan benar. Ini nyata..

Jangan tanya seberapa bergemuruhnya semua rasa di dalam dada. Dia gak tau apa yang harus dia lakukan..

Menangis kah?

Diana termenung. Tak ada kata terucap. Semua kata di gelar di dinding hati. Saling berdiskusi di detak sanubari.

Ini benjolan yang lumayan besar. Kenapa dia terlalu lengah terhadap dirinya sendiri selama ini?

Kehidupannya sebagai dosen dan ibu dari tiga anak, membuatnya tak ada waktu memikirkan hanya sekedar sebuah rasa di dalam dirinya. Ritme hidupnya memang seperti itu. Pergi pagi pulang kadang malam. Menyisakan sedikit waktu buat berbincang dengan anak-anak.  Kadang pun tetap harus melanjutkan tugas yang belum tuntas. Kemudian tidur. Begitu berulang setiap hari.

Kalau tiba saatnya tubuh merasa sangat lelah, si Mbah pijat akan beraksi bergerilya melemaskan otot tubuhnya yang kaku.

Sampai kejadian hari itu.

Diana mulai mengumpulkan info seputar kanker dan mencari rekomendasi dokter onkologi di kotanya.Dan mulai melakukan serangkaian pemeriksaan.  Denting  rasa sakit berpadu dengan rasa takut yang bergerumbul dalam jiwa, menciptakan irama yang mencekam. 

Berkas yang dipegang dokter seperti berisi vonis mati. Dan dokter segera mengeluarkan pernyataan bahwa kanker ternyata sudah memenuhi nyaris seluruh payudara kiri hingga ketiaknya. Payudara kanan juga sudah ada benjolan.

Harusnya sudah lama dia sadari kalau kadang ada rasa sakit, tapi dia abaikan. Dan sekarang tiba-tiba saja jadi sangat terasa. Bu Diana mengumpulkan segenap keberanian untuk menyampaikan pelan-pelan kepada anak-anak dan keluarga. 

Dimana-mana, sebagian dari kita begitu mendengar vonis kanker, seolah-olah hidup akan berakhir. Kita pun seolah-olah menjadi lupa bahwa hidup mati sepenuhnya ketentuan dari Tuhan. Dokter hanya menyampaikan diagnosa yang dilakukannya sesuai dengan keahliannya.

Begitu juga kerusuhan yang terjadi dalam keluarga. Diana bukan saja harus berusaha menenangkan hatinya, jiwa raganya yang terguncang. Tapi juga harus menyiapkan mental anak-anak menghadapi kondisi ini.

Secara medis, penderita kanker memang berlomba dengan waktu. Diana pasrah pada  apa pun yang disarankan dokter. Karena dunia kanker sama sekali tidak dia pahami. Rasanya Diana harus mulai menghitung hari. Berapa lagi sisa hidup ini. Bagai puntung menunggu dimakan api.

Diana seperti menempuh perjalanan rahasia. Hanya dia yang mengetahui lembah dan bukit yang pernah dia pijak. Menjejakkan bahagia dan air mata. Sedikit demi sedikit Diana berusaha menyusun kepingan-kepingan ingatan sambil duduk menatap keluar jendela. Hanya melihat tanpa benar-benar melihat.

Mozaik ingatan seperti membuka foto-foto album lama, menjahit cerita-cerita yang telah  dilalui sepanjang sejarah kehidupan. Diana mulai mengontak para sahabat satu per satu. Menjelaskan kondisinya, dan memohon maaf bila terukir sikap dan kata yang membuat para sahabat dan kerabat terluka. Terus dia lakukan itu dari hari ke hari sambil menunggu jadwal operasi yang tidak sebentar. 

Sampai suatu hari, Diana menyampaikan permohonan maaf pada seorang sahabat lama  melalui akun Facebook sahabatnya itu. Karena Diana tidak memiliki nomor handphone sahabatnya itu.

Dengan panik,  sahabatnya melarang Diana melakukan operasi.

'"Jangan operasi. Tunggu saya akan hubungi sahabat saya, Pak Warsito..." kata Arief, sahabat Bu Diana yang seorang lulusan universitas di Amerika yang sempat berteman dengan Dr. Warsito ketika di Amerika.

Kemudian sahabat ini memberi alamat yang harus segera Diana datangi untuk urusan kankernya. Meski masih sangat samar, harus apa dan bagaimana tapi dia turuti anjuran sahabat lamanya ini. 

Akhirnya Diana sampai di klinik C-Care Riset Kanker dan mulai lagi melakukan serangkaian pemeriksaan. Kondisinya memang sudah lumayan berat.

Ia dibuatkan 5 jenis alat yang harus dia pakai selama 18 jam dalam sehari semalam. Ada alat berbentuk bra yang menutup seluruh payudaranya. Ada dua jenis rompi yang nantinya dipakai di luar alat terapi yang berbentuk menyerupai bra.

Diana patuh akan semua larangan dan perintah yang dianjurkan. Dan menemukan begitu banyak ragam kanker yang dialami orang selama dia harus bolak balik konsultasi ke Tangerang dari Semarang. Dan menyadari betapa beruntungnya dia dibanding para penderita kanker lain yang dia temui di klinik itu. Ada yang sudah bolak balik kemo tapi kanker tetap setia, dan memulai perjuangan melawan kanker bersama ECCT sebagai pilihan terakhir, setelah semua cara dilakukan. 

Diana kian merasa beruntung tidak merasakan kesakitan seperti yang dialami penderita kanker lain. Meskipun di awal pemakaian ada rasa sakit di sepanjang lengan sampai ke ujung jari, tapi itu tidak sebanding dengan sakit yang dialami orang lain. Ia kemudian faham bahwa ternyata bila Diana sempat menjalani operasi, itu akan sangat berbahaya untuk type kanker yang menyerang Diana, type bergerombol kecil-kecil yang mudah menyebar yang tidak bisa dioperasi.

Diana merasa sangat beruntung memiliki sahabatnya itu.Seseorang yang sempat terlupakan karena kesibukannya. Dan menyadari bahwa manusia hidup membutuhkan sahabat untuk berbagi. Nyatanya selama kita punya sahabat, semua akan baik-baik saja. Mereka membantu  tanpa pamrih dengan cara sederhana namun bermakna istimewa. 

Sejak bertemu ECCT tahun 2013, Diana tidak pernah melepas rompi kanker penyelamat hidupnya itu selama 3 tahun hingga 2016 ke mana dan di mana pun dia berada. 

Sampai ada mahasiswa baru yang waktu itu melihat Diana baru turun dari mobil berkata, "Wah ada pasukan gegana."

Dia belum tahu kalau itu dosen. Tampilan Diana yang memakai rompi kulit berwarna hitam sambil mengajar di kampus Undip. Memang jadi mirip pasukan gegana.

Tahun 2016 Diana dinyatakan bebas dari kanker yang membelenggunya oleh dokter yang memeriksanya di Semarang. Tanpa kemoterapi, tanpa zat-zat kimia masuk ke dalam tubuhnya. Diana sehat hanya didampingi ECCT, ramuan herbal, dan do'a yang tak henti dipanjatkan. Ia masih menyetir keluar kota sendirian kala harus membimbing mahasiswanya yang jumlahnya mencapai 100 orang. 

Manusia tidak bisa menentukan arah hidup, hanya bisa berharap Tuhan selalu membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. 10 tahun sudah berlalu. Tak terlihat tanda-tanda Bu Diana sebagai alumni penderita kanker.  Beliau tampak sangat sehat dan selalu penuh semangat. 

Semoga tetap sehat buat Bu Diana.

Tentang ECCT:

https://c-techlabs.com/electro-capacitive-cancer-therapy-ecct-devices/

Comments