KANKER SERVIK STADIUM LANJUT SUDAH TAK BISA DIOPERASI, BISA BERSIH DENGAN ECCT MELEWATI 8 TAHUN

Bu Neneng pertama kali didiagnosa kanker serviks pada akhir 2017 dan sudah stadium 3B, ditambah sudah ada indikasi menyebar ke tulang (stadium 4). Enam dokter yang ditemuinya di Indonesia semua menolak melakukan operasi, hingga akhirnya ia dirujuk ke satu-satunya dokter yang mau mengoperasi di Singapore. Akan tetapi operasi di Singapore akhirnya tak bisa dijalani, tinggal hanya bisa mengandalkan alat ECCT. Proses terapi dengan alat ECCT termasuk berat untuk kasusnya karena massa kanker rontok dalam bentuk gumpalan "geblegan ati ayam" sebesar "potongan sandal jepit" atau "bongkahan batu bata." Sakitnya luar biasa selama lebih dari 6 bulan, tetapi ia menjalaninya dengan keteguhan dan keyakinan yang sangat kuat. Massa mengecil lebih dari 80% dalam 6 bulan. Kemudian untuk menuntaskan proses terapi dan mempercepat pemulihan ia lakukan radiasi. Dokter yang memeriksanya di California, AS, tak percaya bahwa ia terbebas dari kanker dan masih hidup segar bugar hingga sekarang sudah lebih dari 8 tahundari kondisi kanker stadium akhir yang sudah mengalami pendarahan terus-menerus.

Gambar: KANAN: Hasil USG bagian serviks saat sebelum pakai alat ECCT; TENGAH: Gambar USG bagian serviks saat setelah pemakaian 6 bulan; KIRI: Foto fisik Bu Neneng terakhir (Des 2025) dalam kondisi sehat dan aktif, sudah terbebas dari kanker. 


Dokter Bu Neneng di California sempat bilang: "Secara ilmu kedokteran ibu tak mungkin masih hidup, tanpa operasi, tanpa kemo."

Awalnya dokternya yang memeriksanya di Amerika tak percaya bahwa Bu Neneng pernah terkena kanker serviks stadium lanjut.

"Ibu bersih, tak ada tanda-tanda ada kanker. Apa buktinya ibu pernah kena kanker?" kata dokternya pada tahun 2019.

Setelah melihat data medis Bu Neneng termasuk hasil biopsi yang menyebutkan kanker serviks tipe "non-keratinizing squamous cell carcinoma, moderately differentiated" dokternya baru percaya dan mengatakan: "Ibu adalah sebuah miracle."

Bu Neneng pertama kali didiagnosa kanker serviks pada akhir 2017 dan sudah stadium 3B, ditambah sudah ada indikasi menyebar ke tulang (stadium 4). Enam dokter yang ditemuinya di Indonesia semua menolak melakukan operasi, hingga akhirnya ia dirujuk ke satu-satunya dokter yang mau mengoperasi di Singapore. Akan tetapi operasi akhirnya batal dilakukan karena suami dan anaknya yang tinggal di Amerika tak bisa mendampinginya operasi di Singapore.

Pengobatan kanker serviks stadium lanjut yang tidak bisa dioperasi cenderung hanya dilakukan untuk tujuan paliatif seperti kemoterapi, radioterapi, terapi target/imunoterapi, dan dukungan manajemen gejala. Kanker stadium lanjut yang telah menyebar ke luar panggul atau ke organ lain seperti liver, paru-paru, tulang serta kelenjar getah bening jauh mempunyai prognosis yang relatif tak bagus, usia harapan hidup 5 tahun (5-year survival rate) rata-rata hanya sekitar 17-20% untuk stadium IV. Tetapi angka ini bervariasi tergantung kondisi individu. Fokus utama untuk pengobatan kanker serviks stadium lanjut beralih ke pengendalian gejala, memperpanjang hidup, dan kualitas hidup pasien, bukan kesembuhan total. Penyembuhan total untuk kasus kanker seperti yang dialami oleh Bu Neneng secara medis bisa dibilang hampir tidak mungkin.

Karena tak ada opsi lain Bu Neneng kemudian dikenalkan dengan ECCT oleh kawannya seorang penyintas kanker yang telah mencapai remisi dengan alat ECCT. Saat konsultasi Bu Neneng konsultan C-Care menjelaskan bahwa massa kanker serviksnya sudah cukup luas, massa kanker akan mengalami rontok secara cepat (dalam hitungan hari) ketika mulai pakai alat ECCT, mengeluarkan lendir dan gumpalan seperti menstruasi; apabila proses rontok berjalan terlalu cepat bisa terjadi bleeding.

"Apabila bleeding tak kunjung berhenti kemungkinan harus dilakukan radiasi," jelas konsultan ECCT.

Respon kanker serviks terhadap terapi medan listrik ECCT tergantung pada tipenya. Untuk tipe umum yang paling agresif, yaitu tipe non-keratinizing undifferentiated (poorly differentiated) squamous cell carcinoma (SCC) umumnya merespon baik terapi ECCT relatif tak tergantung pada stadium, selama organ vital tak terganggu kondisi remisi total atau sebagian masih mungkin bisa dicapai. Tipe sel ini mengalami kematian sel kanker dengan cepat (dalam hitungan hari) setelah pemakaian ECCT; massa kanker yang mati berubah menjadi lendir yang keluar seperti keputihan. Lendir keluar umumnya berlangsung hingga 2-3 bulan, ketika lendir sudah berhenti bisa dibilang massa relatif sudah bersih dari sel-sel ganas; pada gambar radiologi (USG atau CT scan) umumnya masih nampak gambaran penebalan hingga 3-6 bulan setelah pemakaian alat, penebalan secara perlahan kembali menjadi normal seiring dengan proses pemulihan jaringan.

Untuk kasus kanker serviks dengan tipe keganasan rendah, yaitu keratinizing well differentiated squamous cell carcinoma, respon terhadap terapi ECCT relatif lambat, sel mati banyak mengandung kolesterol atau kalsium tinggi, karakter jaringan sel mati (nekrosis) yang mengalami perontokan berbentuk gumpalan menyerupai ati ayam yang mudah menyebabkan pendarahan (bleeding) dan prosesnya sangat sakit. Untuk tipe ini perlu dibantu dengan operasi untuk kasus stadium awal atau radiasi dan kemoterapi klasik untuk stadium lanjut.

Kombinasi alat ECCT dengan radiasi/kemoterapi untuk kasus kanker serviks stadium lanjut umumnya masih memungkinkan mencapai remisi total ataupun remisi sebagian. Alat ECCT tetap baik dipakai untuk jangka panjang guna mencegah rekurensi dan penyebaran jauh.

Tipe kanker serviks yang dialami oleh Bu Neneng adalah tipe sedang, antara tipe high grade dan low grade. Beberapa hari setelah mulai pakai alat yang hanya 15 menit sekali pakai sebanyak 3-4X sehari, Bu Neneng mengalami hal persis seperti yang dijelaskan oleh konsultan ECCT. Gejala yang dialaminya sesuai dengan karakter tipe sedang antara tipe paling agresif dan paling rendah.

"Awalnya yang keluar adalah lendir seperti jelly, lama kelamaan muncul gumpalan seperti ati ayam dan "geblekan" sebesar sandal jepit dan bongkahan sebesar (potongan) batu Bata," kata Bu Neneng. Awalnya ia merasa takut, tetapi setiap habis keluar gumpalan itu nyeri yang sangat yang dirasakannya berkurang, ia mulai tenang dan semangat menjalani proses terapinya.

Seiring dengan keluarnya lendir dan gumpalan, massa di serviks perlahan mengecil nampak dari hasil USG. Massa yang awalnya mencapai 11X9 cm mengecil menjadi 6X4 cm, 80% lebih secara volume massa hilang dalam waktu 6 bulan pemakaian alat. Proses detoksifikasi keluar lendir seperti jelly dan gumpalan yang dialaminya berlangsung lebih dari 6 bulan. Setelah 10 bulan pakai ECCT, untuk menuntaskan proses terapinya dan mempercepat pemulihan bekas kanker yang rontok Bu Neneng kemudian menjalani radiasi.

Hasil pemeriksaan pasca selesai radiasi menunjukkan massa serviks Bu Neneng sudah tak terdeteksi lagi. Ia bolak-balik Indonesia dan Amerika untuk mengunjungi anak dan suaminya yang tinggal di sana. Ia terus rutin menjalani pemeriksaan dengan dokternya California. Dokternya di Amerika sudah lama menyatakannya telah remisi dari kanker.

8 tahun sejak pertama kali ketemu di C-Care baru bertemu lagi di sebuah acara pertemuan para penyintas kanker. Kondisinya sehat dan normal dan sangat aktif.

Semoga tetap sehat seterunya buat Bu Neneng (WS).

Comments