CATATAN SUWARNI PENGGUNA PERTAMA ECCT: 10 TAHUN AKU SEMBUH DARI KANKER PAYUDARA STADIUM-4

Kisah Suwarni, pengguna pertama ECCT, berjuang melawan kanker hingga terbebas dari kanker payudara stadium 4 melewati 10 tahun lebih.


Oleh: Suwarni 
 
Aku ibu rumah tangga biasa, tidak sekolah tinggi, tidak bekerja kantoran. Setiap hari kerjaku mengurus anak dan suami. 

Anakku 3, cowok 2, cewek 1. Suamiku kerja di bengkel orang dengan gaji yang tidak seberapa. Gaji yang tidak seberapa, tapi mencukupi kami sekeluarga.
 
Tahun 1997 dibantu adikku Warsito aku dan suami mencoba buka usaha bengkel sendiri. Alhamdulillah, usahaku dan suami berjalan lancar, mulai banyak memperkerjakan karyawan sendiri.

Hingga tahun 2009 kesibukan usahaku sangat menyita waktuku, sampai aku terlena tak pernah memikirkan perubahan di salah satu organ tubuhku. 
 
Sakit demi sakit tak pernah aku rasakan. Hingga suatu hari aku tunjukan perubahan payudaraku pada suami. Suami menyuruhku periksa ke dokter. Tapi aku abaikan. 

Aku katakan: "Tidak sakit."
 
Berulang-ulang suami menyuruhku periksa. Tapi aku tetap tidak mau ke dokter.  

Rasa sakit pada payudaraku semakin menjadi, seperti ditusuk pakai jarum. Tapi aku tahan sendiri, aku tak mau berbagi dengan keluarga.
 
Pernah aku hampir pingsan saat payudaraku yang sakit 'kejedot' kaca spion mobil 'banter' sekali.
 
Ditanya sama karyawan: “Ada apa bu?”
 
Aku jawab: “Tidak ada apa-apa.”
 
Aku merasakan sakit yang luar biasa, hampir aku tidak kuat menahan.
 
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Aku masih memaksakan diri untuk tidak menceritakan tentang sakitku pada siapa pun.
 
Suatu hari Minggu saat aku diajak jalan-jalan suami, anak dan cucu semua ikut, seperti biasa aku duduk di sebelah suami yang menyetir, kedua cucuku ikut duduk di depan.
 
Kedua cucuku sangat aktif hingga saat mobil sedang jalan kepalanya membentur payudaraku yang sakit. Bisa dibayangkan sakitnya luar biasa. Hampir saja aku pingsan karena menahan sakit.

Sampai saat itu aku pun belum tergerak untuk periksa ke dokter.
 
Usahaku toko spare-part motor dan bengkel bubut. Setiap habis tutup toko aku minta air panas ke asisten rumah tanggaku untuk mengompres payudaraku pakai air panas yang ditaruh di botol.
 
Lama kelamaan asistenku curiga dan bertanya: “Sakit apa sebenarnya, tho, bu, setiap hari minta air panas?”
 
Sampai di sini masih aku tahan. Hanya suami yang tahu kalau payudaraku ada perubahan. Tapi suami tidak tahu kalau rasa sakitnya luar biasa.
  
Sampai suatu hari saat aku sedang menahan sakit yang luar biasa suami melihatku dan mengultimatumku: "Kalau tidak mau periksa ke dokter, tunggu saja, yang mati saya duluan apa kamu duluan."
 
Sampai di sini aku mulai mikir: "Apa payudaraku ini penyakit kanker seperti yang pernah aku baca di majalah? Apa bahaya hingga menyebabkan meninggal?"
 
Aku benar-benar tidak tahu. Aku hanya seorang wanita biasa. Aku hanya seorang isteri orang awam. Aku hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak berpendidikan tinggi. 

Karena kebodohanku, kurang pengalamanku hingga terjadi seperti ini.
 
Akhirnya karena tidak kuat dengan desakan suami, aku periksa ke rumah sakit. Awal 2010 aku ajak anakku yang paling tua mengantarkanku ke rumah sakit.
 
Dari rumah aku tidak bilang mau periksa diri karena sakit. Aku bilang mau menjenguk orang sakit.
 
Anakku bertanya: “Siapa yang sakit, Bu?”
 
Aku diam saja.
 
Sampai di rumah sakit terbesar di kota Solo aku ditangani dokter spesialis yang sangat terkenal di kota itu. Aku pasien terakhir hari itu.
 
Karena datangku sudah siang, aku masuk sendirian ke ruang pemeriksaan. Anakku menunggu di luar.
 
Hasil pemeriksaan dokter dari melihat bentuk payudaraku yang sudah berbentuk buah apel, warnanya juga berubah kemerah-merahan, kulitnya seperti kulit jeruk agak keras, dokter menyimpulkan aku kena kanker stadium akhir, stadium 4 dan sudah saatnya dioperasi. 

Aku pun kaget hingga seluruh tubuhku 'ndrodhog' kencang. Jantungku berdetak sangat kuat, hingga dokter spesialis jantung yang memeriksaku pun kaget melihat hasil pemeriksaan jantungku.

Karena saking paniknya, aku tidak tanya-tanya lagi sama dokter spesialis yang memeriksaku ketika ia memberikan surat pengantar untuk periksa ke laborat.
 
Saya pikir hanya surat pengantar ke laborat, sehingga saya langsung pulang.
 
Sampai di rumah aku ceritakan pada suami dan anak-anak hasil pemeriksaanku. Tentulah kaget semuanya, suami maupun anak-anak. Anak- anak semua menangis.
 
Sore harinya aku diantar suami periksa ke laboratorium. Hasilnya malam hari baru keluar.
 
Pagi harinya aku diantar suami dan anak perempuanku ke rumah sakit lagi untuk menunjukkan hasil lab ke dokter yang memeriksaku.
 
Baru saja aku mau duduk hasil lab itu dibanting di atas meja. Rupanya pemeriksaan lab yang aku lakukan salah.

Kata-katanya tinggi dan besar. Suami dan anak saya yang ikut pun ketakutan. Sang dokter meninggalkan kami bertiga, tapi masih ada asisten dokter di situ.
 
Hari itu adalah hari Jumat, hari terakhir dokter praktek di rumah sakit itu. Asisten dokter pun memberikan arahan apa yang harus aku periksakan di lab lagi.
 
Berbagai pemeriksaan di lab aku ikuti dan hasilnya malam itu keluar. Aku dikasih tahu salah seorang lab bahwa dokter yang memeriksaku praktek malam itu juga di rumah sakit satu lagi. 
 
Tanpa menunggu lama suami melarikan aku ke rumah sakit yang disebut malam itu juga. Lagi-lagi aku pasien terakhir di rumah sakit itu.
 
Setelah melihat hasil USG, dokter menganjurkan segera di operasi. Suami pun setuju saya dioperasi.
 
Aku pikir setelah dioperasi hilang sudah penyakitku. Yaaa, itu tadi karena kebodohanku.
 
Hari Seninnya aku disuruh ke rumah sakit yang pertama untuk pemeriksaan selanjutnya.
 
Disela-sela menunggu hari pemeriksaan aku coba menelpon kakakku yang di Jakarta.
 
"Yu, apa ada obat untuk kanker payudara stadium 4?” tanyaku.
 
Kakakku tanya: “Siapa yang sakit kanker, Ni?”
 
Aku jawab: “Anu, temenku, tetanggaku….”
 
Pertama kakak percaya, tapi lama–lama jadi curiga. Aku tidak bisa bohong lagi kalau yang sakit aku sendiri. Mau tidak mau aku ceritakan semuanya lewat telepon sama kakakku.
 
Dari situ semua keluarga besarku tahu. Kebetulan waktu itu ibu juga sedang di Jakarta.
 
Hari Senin aku diantar anak perempuanku dan suami ke rumah sakit yang pertama. Dokter menjadwalkan hari Rabu pagi operasi. Hari itu juga aku disuruh rawat inap, tapi aku menolak. 

Aku pulang dulu ke rumah hari itu, besoknya hari Selasa baru masuk untuk mulai rawat inap.
 
Selasa malam, ibu, kakakku, Warsito dari Jakarta dan keluarga besarku datang ke rumah sakit menungguku hingga selesai operasi besoknya.
 
Seminggu setelah operasi aku diizinkan pulang. Jahitan belum dilepas, hasil operasi belum keluar.
 
Di rumah aku dicarikan perawat untuk membersihkan luka bekas operasi. Setiap hari luka operasiku dibersihin oleh perawat. 

Seminggu di rumah hasil operasi keluar dan aku bawa ke dokter sekaligus untuk diambil jahitan operasi. 

Tetapi yang diambil hanya separoh, karena jahitan operasiku cukup panjang. Dokternya beraninya mengambil separoh dulu, yang separoh lagi menunggu sepekan lagi.
 
Melihat hasil operasi sang dokter pun kaget. Dokter menyampaikan kalau aku kena kanker ganas, sudah menyebar ke ketiak dan sangat ganas. (Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan tipe invasive ductal carcinoma grade 3, red).
 
Dengan hasil seperti itu dokter menyarankan untuk kemoterapi. Biaya kemo sangat mahal untuk ukuran keluargaku. Sekali kemo perlu biaya 30 juta. Dan kata dokter aku perlu 9 kali kemo.
 
Aku pun kaget. Dari mana aku dapat uang segitu banyaknya?
 
Aku tanya: “Dokter, itu dibayar dengan uang semua?”
 
Dokternya pun menjawab: “Lha, iya, masak pakai kertas?”
 
Dengan jahitan masih separoh aku pulang menunggu satu pekan lagi untuk diambil yang separohnya lagi.
 
Aku memikirkan sakit, dan biaya untuk kemo. 
 
Jahitanku jebol 2 jahitan sampai menyebabkan bolong di luka bekas operasi. Perawat yang merawatku takut dan menyuruhku dibawa ke dokter untuk dijahit lagi. 
 
Tidak bisa dibayangkan sakitnya.
 
Aku tidak mau kalau dijahit lagi. Sama suami aku dibelikan obat ke singse hingga habis 8 paket, akhirnya kering.

Untuk pengambilan jahitan yang separoh lagi aku datanh ke dokter lagi. Sekali lagi dokter menyarankan untuk kemo.
 
“Bagaimana, dok, kalau tidak kemo?" tanyaku.

"Paling banter umurnya tinggal 1-2 tahun, paling lama," kata dokter.
 
"Kalau aku kemo apa dokter menjamin tidak akan tumbuh lagi kankernya?” tanyaku.
 
“Tidak menjamin untuk tidak tumbuh sel kankernya lagi," jawab dokter.
 
“Kalau tidak menjamin kenapa harus kemo dengan biaya yang begitu besar?" 

"Mendingan kalau punya uang segitu buat naik haji dan membantu orang yang membutuhkan," kataku.
 
“Mohon doanya, dok, semoga Allah mengampuni dosa saya, ” kataku akhirnya ke dokter.
 
Aku dikasih resep. Aku tanya: “Dok, ini obat untuk obat apa?”
 
“Untuk obat daya tahan tubuh,” jawab dokter.
 
Di tengah perjalanan pulang dari dokter aku telpon adikku Warsito. Waktu itu ia staf khusus menristek. Saat itu posisinya sedang berada di luar negeri.
 
Lewat telpon aku bilang “Le", biasa aku kalau memanggilnya 'le'. "Bilangnya dokter umurku tidak lama, paling lama 1–2 tahun, kalau tidak kemo."

"Bilang begitu dokternya?" tanya Warsito.

"Iyaa," jawabku.

"Ya, udah, kemo aja," lanjutnya.

"Aku tidak mau. Biayanya banyak."

"Ya, nanti diusahakan."

"Aku tidak mau kemo,” tegasku.
 
Warsito bilang: “ Yaa, udah, sekarang pulang, istirahat, jangan banyak pikiran, makan yang banyak, yo, yuu.” 

“Ya,” kata saya.
 
Sampai di rumah pikiranku tak karuan ke mana-mana.

Pertama aku telpon ibu untuk minta maaf seluruh dosa, mohon diampuni dan minta doanya agar hati ini tenang menghadapi sakit yang saat ini aku derita.
 
Terus aku menelpon saudara-saudara dan teman untuk mohon dimaafi seluruh kesalahan dan minta doanya kalau aku dipanggil menghadap-Nya sewaktu-waktu.
 
Tiga bulan sudah aku merasakan sakit, sedih dan jengkel, hampir putus asa.
 
Suatu hari, tepatnya tanggal 20 Juni 2010, datang asisten Warsito ke rumah membawa alat berbentuk kutang dan kotak berisi batere kecil dua buah.
 
Dari telpon Warsito bilang “Yu, alat itu dipakai, yaa...”

Aku jawab: “Ya.”
 
Besoknya aku temui dokter. Aku tunjuki alat itu ke dokter. Dokternya malah marah. Aku dikasih pengantar untuk periksa ke lab lagi.
 
Satu bulan setelah pemakaian alat itu aku periksa ke lab. Hasil lab aku bawa ke dokter. Melihat hasil lab itu, dokter kembali marah luar biasa. Beliau membanting hasil lab itu dan membentakku.
 
"Hasil lab memang menunjukkan negatif, tapi di tubuh kamu aku percaya masih banyak sel kankernya," katanya.
 
Satu bulan lagi aku disuruh USG dan cek seluruhnya. 
 
Setelah dua bulan pemakaian alat berbentuk kutang dengan kotak batere itu, aku cek USG. Hasilnya langsung aku bawa ke dokter.
 
Dokter lama mengawasi dengan teliti hasil USG, sampai aku tak sabar dan tanya ke dokter.

"Bagaimana, dok, apa tumbuh apa tumbuh menyebar, kok dokter lama memeriksanya?” tanyaku.
 
Sampai tiga kali aku nanya baru dijawab.
 
“Alhamdulillah, ibu sudah sembuh total dari kanker...,” kata dokter akhirnya.
 
Aku pun sujud sukur di situ juga.
 
Dokter bilang: "Belum satu kali pun kemo, dengan biaya yang sangat mahal, ibu sudah terbebas dari kanker ganas yang sudah menjalar ke ketiak."
 
Alat memang aku pakai 24 jam. Aku melepasnya hanya pas mandi. Saat mandi aku lepas habis itu aku pakai lagi.
 
Aku pun tidak menyangka kalau secepat itu terbebas dari kanker.
 
Dokter yang selama ini mengobatiku pun tidak menyangka pemakaian alat itu bisa secepat itu.
 
Aku langsung telpon Warsito. Ia juga kaget dengan hasil seperti itu.
 
Inilah pengalaman aku tentang alat yang kemudian diberi nama ECCT.
 
Alhamdulillah, Allah kasih kesembuhan saya lewat malaikat kecilku.
 
Anak yang sejak kecil aku gendong, aku suapin, aku latih untuk jalan, aku latih untuk bicara itu kemudian dikirim Allah untuk membantu mbakyunya.
 
Terima kasih malaikat kecilku.  
Terima kasih adikku yang sholeh. 
Semoga Allah memudahkan, melancarkan keinginanmu, dan selalu dilindungi Allah dunia dan akherat. Aku berharap kamu bisa membantu pasien kanker dengan mudah dan lancar seperti aku.

***
 
Di balik ujian yang Allah berikan pasti Allah beri kemudahan. Nikmati apa yang Allah berikan, meskipun sepahit apa pun dengan ikhlas dan hanya mengharap ridho-Nya. Pasti Allah kasih yang terbaik.
 
Pengalaman saya kecewa terhadap salah satu anggota keluarga yang paling dekat, entah anak atau suami, jengkel pada orang yang terdekat, kesal, marah, kecewa pada orang terdekat itu semua pemicu perkembangan sel kanker. 
 
Berulang kali saya stres, kecewa, marah, jengkel pada orang yang terdekat, berulang kali juga kanker tumbuh lagi, lagi dan lagi. 
 
Setelah kanker saya pertama dinyatakan bersih pun saya pernah sampai 3 kali kanker tumbuh kembali di tubuh saya di sekitar bekas operasi. 

Saya membuat uji-coba buat saya sendiri. Sampai 3 kali tumbuh. Setiap kali tumbuh langsung saya pakai alat ECCT. Seminggu kemudian hilang lagi. 
 
Pernah suatu hari saat kanker saya tumbuh lagi, sengaja saya tidak mau pakai alat ECCT lagi.  Kondisi saya terus menurun, berat badan saya turun hingga 5 kg. Karena hati saya sedang kecewa, jengkel, marah, ujung-ujungnya saya marah pada diri sendiri, setelah itu saya lepas tak mau pakai alat ECCT lagi.
 
Sampai 1 bulan, 2 bulan, hingga 3 bulan badan saya sampai kecil. Tumbuh lagi kembali lagi kanker itu ke tubuh ini. 
 
Saya berdoa buat semua yang saat ini menerima kanker dan memakai ECCT semoga cepat sembuh seperti saya. 

Saya ingin berpesan: "Terima dengan ikhlas apa yang telah Allah kasih meskipun sakit, pahit, kecewa, marah dan jengkel. Berusahalah untuk melupakan semuanya yang membuat hati ini sakit. Berusahalah mengubur dalam-dalam penyakit hati."

"Untuk melupakan semuanya memanglah sakit, tapi kalau niat kuat pastilah Allah kasih yang terbaik."

"Luangkan setiap malam di kala orang pada tidur untuk bangun, mengambil air wudhu, dekatkan, adukan dan pasrahkan pada Allah, mohon ampunan-Nya."

"Mohon agar dimudahkan, dilancarkan untuk penyembuhan sakit ini, tumpahkan semuanya, habiskan waktu 1/3 malam untuk mengharap keridhoan-Nya."

Mudah-mudahan Allah meridhoi kita, dan memberikan kemudahan dalam segala upaya kita.

#10TahunECCT #10TahunSuwarni

Tentang ECCT: https://c-techlabs.com/electro-capacitive-cancer-therapy-ecct-devices/


Comments