USIA 9 BULAN TERKENA TUMOR DI PUSAT SARAF OTAK, BANGKIT KEMBALI, MELEWATI 10 TAHUN HINGGA BISA SEKOLAH SEPERTI ANAK BIASA

Kisah perjuangan anak umur 9 bulan terkena tumor pada pusat kelenjar otak (pleksus koroid), awalnya tak bisa mengangkat kepala, tak bisa menggerakkan kaki hingga kemudian bisa bangun dan mulai jalan setelah pakai ECCT, sampai tumbuh menjadi remaja melewati 10 tahun, dan bisa sekolah normal seperti anak-anak lainnya.


Gambar: Atas: Hasil CT-Scan sebelum dan setelah pemakaian ECCT dari tahun ke tahun; Bawah: Foto Taqi dari setelah pemakaian ECCT 3 bulan hingga setelah 10 tahun.

{Kisah Taqi di bawah ditulis untuk memperingati Hari kanker Anak Sedunia 15 Februari 2021}

***

SI KEPALA BESAR, SI PENDOBRAK JIWA YANG BESAR


Oleh: Nurbadi'ah Barliyan

"Ketika anak yang seruangan dengan Taqi, tak datang di jadwal radiasi kedua. Saya coba menghubungi orangtuanya," cerita Pak Sulistiyo bapak Taqi. "Ternyata anak itu sudah tidak ada beberapa hari sebelumnya."
Orangtua mana yang hatinya tak ciut mendengar kabar seperti itu. Apalagi beberapa waktu setelah kejadian itu, ada seorang anak lain juga yang meninggal setelah menjalani proses terapi.

Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari kematian. Sejauh apa pun kita pergi. Berlindung di dalam rumah dengan tembok tebal sekalipun. Kematian tetap akan datang menjemput.
Orangtua Taqi tidak pernah menyangka, bahwa bayi mungil mereka harus menghadapi beratnya hidup berdampingan dengan tumor. Ketika itu, Taqi kecil menjalani rutinitas kehidupan bayi dengan imunisasi campak. Biasanya badan Taqi akan panas beberapa hari seperti kebanyakan reaksi setelah menjalani imunisasi. Tetapi kali ini sudah lebih dari seminggu panas badannya tak turun-turun juga. Dan Taqi yang biasanya tak rewel, kali ini terus-menerus menangis.
"Karena khawatir kami membawanya ke dokter anak...," cerita orangtua Taqi.
Dokter menyatakan tak ada masalah. Bahkan sempat melihat kepala Taqi yang cenderung tampak besar dan mengatakan bahwa Taqi akan menjadi anak pintar. Orangtua Taqi dengan senang mengamini pendapat dokter ini.
Namun beberapa hari kemudian Taqi mengalami kejang-kejang disusul dengan matanya yang menjadi juling. Mereka bergegas membawa lagi Taqi ke dokter anak. Dokter menyarankan agar membawa Taqi ke dokter spesialis saraf. Dokter saraf menyarankan agar Taqi melakukan CT Scan untuk mengetahui kondisi Taqi yang sebenarnya.
Hasil CT Scan sungguh mengejutkan: ada tumor di otak Taqi, tepat di pusat kelenjar otak tempat memproduksi cairan otak, tumor pleksus koroid. Akibatnya produksi cairan otak Taqi sangat berlebihan menyebabkan hidrosefalus, ukuran kepala yang jauh melebihi ukuran rata-rata, disebabkan penumpukan cairan di dalam otak. Seketika ruang terasa sempit menyesakkan bagi kedua oragtua Taqi.
Mereka menatap Taqi dengan pedih.
Ketika itu Taqi baru berusia sembilan bulan. Seharusnya usia ini akan menjadi masa lucu-lucunya seorang bayi. Tak ada suara celoteh seperti bayi pada umumnya. Taqi tergeletak tak berdaya, dalam belitan belenggu tumor otak yang menyiksanya.
Anak adalah sumber kebahagiaan orang tua. Tempat tercurahnya cinta kasih. Tak ada satu apapun yang akan mampu membendung langkah mereka untuk melepas penderitaan yang menyiksa belahan jiwa mereka.
Taqi dirujuk ke rumah sakit besar untuk penanganan lebih lanjut. Mereka mulai menjalani hari-hari panjang di lorong rumah sakit. Setelah semua pemeriksaan lengkap, dokter membuat jadwal operasi. Dalam ketidaktahuan dan ketidakberdayaan orangtua Taqi pasrah pada apapun tindakan dokter.
"Kami hanya ingin Taqi sembuh...," kenang Pak Sulistyo, Ayah Taqi. "Gak tau langkah apa yang harus diambil, selain pasrah pada dokter."
Sepanjang berjalannya operasi, do'a tak henti mereka panjatkan. Mereka tahu, inilah saat di mana sangat membutuhkan bantuan-NYA. Jam demi jam bergerak seperti bertahun-tahun lamanya.
Di usia baru satu tahun, Taqi kecil sudah harus bercengkrama dengan meja operasi besar yang beresiko kehilangan nyawanya. Operasi pertama dilakukan untuk memasang selang guna mengalirkan cairan otak yang berlebihan. Operasi berikutnya untuk mengambil sebagian massa tumor yang berada pada jaringan kelenjar pusat produksi cairan otak. Operasi tidak bisa dilakukan sekali karena dekat dengan pusat saraf otak.
Dan itu bukan akhir perjuangan menuju kesembuhan. Masih ada proses selanjutnya dengan radiasi yang harus Taqi jalani sebagai ikhtiar kesembuhannya karena massa tumor hanya bisa diambil sedikit karena posisinya di pusat saraf.
Tapi melihat pengalaman yang mereka lihat pada orang-orang yang juga berobat di sekitarnya, hati orangtua Taqi jadi ciut.
"Kami seperti berjalan berputar-putar dalam lorong gelap tak berujung, tak mampu melihat arah mana yang harus kami tuju."
Orangtua Taqi kala itu benar-benar tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka mencoba berbagai hal untuk kesembuhan Taqi. Bahkan hal yang tak masuk akal pun mereka jalani sebagai sebuah ikhtiar.
Kita yang tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi, berapa tahun lagi kita akan hidup. Tapi sebagai manusia, kita wajib berikhtiar untuk mendapatkan yang lebih baik.
"Ketika saya sedang menunggu di ruang tunggu rumah sakit, tidak sengaja melihat wawancara Doktor Warsito di televisi tentang ECCT. Saya merasa inilah jawaban dari do'a panjang selama ini, " kenang Pak Sulistiyo saat pertama tahu tentang ECCT.
Meski info yang mereka tangkap masih sangat samar, tapi mereka merasa bersemangat bahwa ECCT harus menjadi pilihan. Mereka seperti melihat sebuah lentera yang menerangi lorong gelap yang sedang mereka lalui.
Tanpa banyak pertimbangan, mereka bergegas menjemput harapan yang nyaris punah. Meski tak paham bagaimana alat ini akan bekerja, tapi mereka yakin inilah yang akan membawa Taqi menuju kondisi yang lebih baik.
***
Taqi akhirnya mendapatkan alat ECCT. Jadwal radiasi dibatalkan.

Beberapa saat setelah memakai alat ECCT, kondisi Taqi berangsur angsur semakin membaik. Taqi mulai bisa mengangkat kepalanya yang besar. Rumah yang semula tidak mengenal AC, terpaksa kini harus pakai pendingin karena saat pakai alat berbentuk tutup kepala (helm) Taqi banyak mengeluarkan keringat dan merasa kepanasan.
Di awal pemakaian Taqi bahkan langsung keluar bintik merah biang keringat karena kepanasan, atau karena keringat yang keluar secara berlebihan. Kondisi Taqi kian hari kian membaik. Mata yang semula juling, berangsur mulai kembali ke posisi semula. Tangan kaki yang semula menjuntai lemah, kini mulai bisa digerakan. Taqi mulai bisa bisa duduk sendiri setelah beberapa bulan memakai alat.
ECCT telah membawa mereka sedikit demi sedikit keluar dari lorong kegelapan. Sungguh Allah punya cara misterius untuk menunjukkan karya-Nya.
"Kami masih rutin membawa Taqi kontrol ke rumah sakit. Sekedar ingin menyocokkan hasil pemeriksaan di klinik dengan di rumah sakit, " kata orangtua Taqi. "Dan untuk lebih meyakinkan diri bahwa kami tidak salah langkah."
Hasil pemeriksaan CT scan setiap tahun menunjukkan massa tumor yang semakin mengecil, dan cairan yang awalnya membendung otaknya semakin berkurang.
8 tahun sudah sejak pertama didiagnosa tumor otak. Di usia 9 tahun Taqi kini sudah menjadi anak yang lincah dan cerewet, berlarian ke sana kemari dan bermain bersama teman-temannya di sekolah.
***
Dalam hidup ini yang terpenting, kita harus selalu memiliki harapan dan mengejarnya tanpa berhenti agar bisa terwujud. Tak peduli seberapa rumit atau sulitnya hidup, tapi semua pun akan berlalu seiring waktu. Kadang kesulitan menjadi petunjuk bagi kita untuk memulai sebuah langkah.
Seperti yang dilakukan orangtua Taqi. Berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun berurusan dengan rumah sakit, di sana orangtua Taqi berjumpa dengan begitu banyak orang yang jauh lebih menderita dari penderitaan mereka. Setiap kesulitan akan membawa kebaikan bagi mereka yang berjiwa besar. Bahwa kita lebih bisa memahami kepedihan orang lain lebih dari sebelumnya. Dan kita bisa jadi orang yang sangat sulit merasakan kecewa.
Orangtua Taqi mulai melakukan sesuatu yang bisa meringankan beban derita orang-orang yang kesulitan di sekitar mereka. Mereka mencoba mengetuk hati para dermawan untuk bersama sama meringankan beban saudara mereka. Meski kadang timbul rasa ragu akan apa yang mereka lakukan. Tetapi setiap kali melihat penderitaan orang lain, mereka selalu tak mampu menutup mata untuk tidak membantu.
Kadang kita sendiri kehilangan semangat di saat begitu banyak penolakan dari orang-orang di sekitar. Kadang kita berpikir apakah karena kita tak layak melakukan ini? Haruskah kita berganti menjadi bukan diri sendiri agar lebih bisa diterima masyarakat?
Sementara kita selalu tak mau gagal membantu, dan selalu berjuang sampai berhasil membantu dengan segenap gaya dan kemampuan kita. Kalau kita mau, kita akan bisa.
Setiap orang mempunyai sesuatu untuk ditawarkan kepada dunia ini. Meski hanya sebuah langkah kecil. Marilah kita lakukan apa yang bisa kita lakukan, dengan apa yang kita miliki, di mana pun kita berada. Kalau ingin melakukannya, kita bisa melakukannya. Kita hidup, kita ada di sini, jadi lakukanlah sekarang juga.
Cinta dan kebaikan tak pernah sia-sia. Keduanya selalu membawa perubahan. Membawa berkah bagi yang menerima. Dan membawa berkah bagi yang memberi. Kita tak punya banyak, tapi kita bisa selalu cukup. Sebuah rasa yang hanya dimiliki oleh mereka yang pandai bersyukur.
[KISAH INI DITULIS UNTUK MEMPERINGATI HARI PEDULI KANKER ANAK SEDUNIA]
Lampung, 15 FEBRUARI 2021.

Comments