CATATAN SURVIVOR KANKER: "10 TAHUN AKU "BERSAHABAT" DENGAN KANKER (BERSAMA ECCT)"

Catatan kisah pribadi dalam menghadapi kanker payudara tipe yang paling sulit ditangani (Tipe E1), resisten terhadap kemo dan radiasi, kalau dioperasi mudah tumbuh kembali, merembet dan menyebar ke organ vital yang berefek mematikan, perlu 10 tahun untuk menjinakkannya dengan ECCT hingga bisa terbebas dari kanker.


Gambar: Kanan: Gambar hasil USG dan radiologi Bu Libriana saat awal dan setelah terapi selama 7 tahun (2019) dan 10 tahun (2021); Tengah dan Kiiri: Foto Bu Libriana saat genap mencapai 5 tahun dan 10 tahun sebagai penyintas kanker.

***

CATATANKU: 10 TAHUN AKU "BERSAHABAT" DENGAN KANKER (BERSAMA ECCT)

Oleh: Librianna, M.S

Saat ini usiaku sudah menginjak 51 tahun, dengan urutan sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Meski kedua orang tuaku berasal dari keturunan suku Jawa, bapak berasal dari Cepu (Jawa Tengah) dan ibu dari Tulung Agung (Jawa Timur), namun masa kecilku hingga beranjak dewasa aku habiskan di ibukota.

Sampai akhirnya aku menemukan jodohku yang bernama Daryadi. Lelaki yang juga keturunan suku Jawa ini sehari-hari berprofesi sebagai seorang jurnalis olahraga. Lelaki yang tiga tahun lebih tua dariku ini sudah banyak bekerja di berbagai media, mulai dari Grup Kompas, Tabloid GO, TV 7, hingga memutuskan untuk membuat media olahraga sendiri khusus bulutangkis.

Kami dipertemukan saat sama-sama bekerja di kantor yang sama di Tabloid GO. Tanpa proses pacaran yang panjang dan bertele-tele kami pun memutuskan menikah di Jakarta pada tahun 1995.

Alhamdulilah, rumah tangga kami berjalan damai dan bahagia. Kalaupun ada riak-riak kecil, kami anggap itu adalah bagian dari ujian dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Sejak tahun 2000 kami pun hijrah ke pinggiran ibukota tepatnya di kota Depok. Di kota kecil ini keluarga suamiku telah menetap sejak tahun 1979.

Tiga orang putri yang cantik-cantik menjadi pelengkap kehidupan rumah tangga kami. Si sulung kelahiran tahun 1996. Putri kedua kelahiran tahun 1997. Sedangkan si bungsu kelahiran tahun 2005.

Setelah hijrah ke Depok dan memiliki tiga orang putri, aku pun memutuskan tidak lagi bekerja di kantor.  Sedangkan suamiku tetap bergelut dengan profesi yang telah lama ditekuninya. Berbekal uang pensiun yang tidak seberapa aku mencoba berbisnis kuliner, ada siomay, bakso, serta mie ayam. Semua aku pelajari secara otodidak. Walau tidak terlalu besar pendapatan yang diperoleh tapi aku tetap bersyukur karena mampu membantu suamiku dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Saking sibuknya dengan bisnis kuliner sampai-sampai aku abai dengan kesehatanku sendiri. Aku tidak pernah memperhatikan perubahan serta gejala-gejala yang aneh dalam tubuhku. Sampai suatu ketika di akhir bulan November 2011 justru suamiku yang bertanya sepertinya ada sesuatu yang aneh di payudaraku yang sebelah kiri. Setelah aku raba dan cermati memang seperti ada benjolan sebesar kacang tanah. Secara kasat mata memang tidak terlihat dengan jelas, tapi ketika diraba barulah terasa dari benjolan yang cukup besar.

Tak ingin berspekulasi awal bulan Desember 2011 suamiku pun mengajakku periksa ke dokter khusus onkologi di salah satu rumah sakit terbesar di Depok. Kebetulan di rumah sakit tersebut juga ada dokter spesialis onkologi yang wanita. Setelah sekitar satu jam menjalani pemeriksaan secara seksama akhirnya sang dokter yang memeriksaku menyampaikan kabar tak sedap.

"Benar benjolan yang ada di payudara kiri ibu adalah cancer. Diameternya sudah sebesar 2 cm, dan ini akan semakin membesar jika tidak segera diangkat. Jika bersedia dioperasi saya ada jadwal kosong di hari Sabtu pekan ini," ujar dokter tersebut.

Awal bulan Desember 2011 itu pun tak pernah aku lupa dari perjalanan hidupku. Vonis dokter itu seperti menjadi mimpi buruk yang langsung merontokkan seluruh persendianku. Aku dan suami cuma bisa terdiam dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Seolah tak percaya dengan kabar yang baru saja kami terima dari dokter. Tawaran dari dokter untuk melakukan operasi pengangkatan pada hari Sabtu pekan itu juga belum kami respon. Suamiku cuma bilang, kami akan pikir-pikir dulu serta berembug dengan seluruh keluarga yang lain.

Setiba di rumah aku seperti masih belum sepenuhnya percaya dengan ucapan sang dokter. Aku pun berubah jadi pendiam. Suasana rumah yang biasa ceria sontak saja berubah sunyi. Anak-anak sengaja tidak kami beri tahu perihal penyakit yang aku derita karena mereka saat itu memang masih kecil-kecil.

Aku pun seperti tak punya gairah lagi untuk meneruskan bisnis kuliner yang aku jalani. Suamiku juga meminta bisnis kuliner yang aku jalani break saja untuk sementara agar bisa fokus 100 persen untuk mencari kesembuhan atas penyakit cancer di payudara yang aku alami.

"Ayo sayang jangan menyerah, kita harus berikhtiar terus. Umur manusia ada di tangan Allah, yang terpenting kita tunjukkan dulu usaha maksimal kita sambil terus berdoa agar memperoleh jalan yang terbaik," bisik suamiku.

Dukungan suami serta senyum ketiga putriku itulah yang perlahan membangkitkan kembali semangat hidupku yang sempat runtuh. Dalam setiap doa seusai shalat aku selalu meminta kepada Allah agar diberikan kesempatan lebih lama lagi untuk menyaksikan anak-anakku tumbuh dewasa.

Bisnis kuliner pun sementara aku lupakan. Hari-hariku bersama suami mulai saat itu kami sibukkan dengan mencari informasi pengobatan cancer. Tidak puas dengan hasil pemeriksaan di rumah sakit terbesar di Depok itu, kami pun mencoba mencari pembanding ke rumah sakit lain. Rumah Sakit terbesar di Cibubur dan Rumah Sakit terbesar di Cibinong pun kami datangi. Ternyata hasilnya sama persis. Dokter onkologi di kedua rumah sakit tersebut pun sama-sama menyarankan agar segera dilakukan operasi pengangkatan agar tidak makin berkembang terus. Menurut ilmu kedokteran memang tidak ada obat untuk mengatasi cancer, kecuali dilakukan operasi pengangkatan, setelah itu dilanjutkan dengan chemotherapy dan radiasi.

Aku sesungguhnya sudah pasrah sekiranya itu memang jalan yang harus ditempuh untuk mengatasi cancer yang ada di payudara kiriku. Tapi, suamiku sepertinya belum terlalu yakin sepenuhnya bahwa itu adalah satu-satunya solusi. Jalan pengobatan alternatif pun coba kami tempuh. Tak ubahnya layang-layang kami seperti mengikuti arah angin bertiup. Info ke barat kami ikuti, begitu juga ke timur, utara atau ke selatan. Berboncengan sepatu motor bersama suami berbagai tempat pengobatan alternatif kami datangi, dari yang masuk akal hingga yang di luar nalar. Tanpa terasa tabungan kami sedikit demi sedikit mulai terkuras.

Demi mencari upaya pengobatan tersebut suamiku pun sengaja mengambil cuti besar dari kantornya sehingga bisa lebih fokus tanpa terganggu oleh urusan pekerjaan. Setiap malam kami selalu menyusun rencana besok akan berobat ke mana. Sayangnya dari berbagai tempat yang kami datangi belum ada satu pun yang membuat kami mantap untuk menentukan satu pilihan yang tepat.

Memasuki bulan kelima, April 2012 petualanganku mencari kesembuhan bersama suami tercinta masih belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan, hingga pada satu malam tiba-tiba telpon di rumah berdering. Ternyata dari ibu Lina, dia adalah tetangga yang hanya terpaut empat rumah dari tempat tinggalku. Cerita punya cerita ternyata ibu Lina juga menderita masalah yang sama seperti aku. Bedanya hasil USG yang dilakukan cancer di payudara ibu Lina baru sebesar biji beras. Sementara seiring berjalannya waktu di bulan kelima benjolan di payudara kiriku aku raba semakin membesar dibandingkan sebelumnya.

Lewat obrolan via telpon itu ibu Lina menawari aku untuk berobat bersama ke Tangerang, saat itu akhir bulan April 2012. Tempat pengobatan yang dimaksud ibu Lina adalah CTECH LABS EDWAR TECHNOLOGY beralamat di Cikokol - Tangerang milik pak Warsito P.Taruno. Tanpa pikir panjang aku pun bersedia diajak tetanggaku ini untuk berobat ke pak Warsito. Menumpang mobil milik ibu Lina, aku meluncur dari Depok ke Tangerang. Untuk perjalanan kali ini suamiku sengaja tidak ikut serta. Dia hanya ingin mendengar dulu hasil evaluasinya di rumah.

Tiba di Tangerang, tepatnya di ruko-ruko perumahan Modern Land aku dibuat terkejut. Ternyata bukan aku dan ibu Lina saja yang berniat berobat ke ruko “klinik” pak Warsito.  Ratusan orang yang punya masalah seperti aku rupanya sudah mengantri sejak pagi. Meski sempat dibuat down dengan antrian yang panjang tapi tekad kuat ingin sembuh akhirnya yang mampu mengalahkan rasa putus asa itu. Tiba giliranku diperiksa ternyata aku sudah mendapatkan nomor urut pasien ke-1652. Itu artinya sebelum aku sudah ada lebih dari 1600 pasien yang berobat ke klinik ini.

Tidak seperti pengobatan-pengobatan alternatif yang pernah aku datangi bersama suami yang selalu memberi obat berupa kapsul, tablet atau air, dari klinik pak Warsito sama sekali tidak ada obat yang aku bawa pulang. Metode penyembuhannya ternyata adalah dengan menggunakan alat berupa rompi yang dialiri arus listrik bertegangan rendah cukup menggunakan dua buah baterai ukuran AA . Alat inilah yang harus dipesan karena dibuat sesuai dengan ukuran serta masalah yang dihadapi. Aku belum bisa memutuskan apa-apa saat kunjungan pertama tersebut. Selain harga alat tersebut yang tidak terbilang murah, aku juga perlu diskusi lebih dulu dengan suami di rumah.

Setiba di rumah, suamiku yang penasaran dengan metode pengobatan cancer penemuan pak Warsito P.Taruno ini langsung mencari informasi. Lewat info di internet kiprah pak Warsito dalam membantu mereka yang menderita cancer ternyata sudah tersebar luas. Tak ingin membuang waktu suamiku pun mengajakku untuk kembali ke klinik pak Warsito sekaligus untuk memutuskan untuk memesan alat yang diberi nama ECCT (Electro Capacitive Cancer Therapy) tersebut.

Karena hanya pergi berdua dan jaraknya cukup jauh, kami memutuskan naik kereta api dari Depok ke Tangerang menuju klinik pak Warsito. Setelah mendapat penjelasan tentang cara kerja alat tersebut langsung dari sang penemunya, suamiku tak ragu untuk memutuskan untuk membeli alat ciptaan pak Warsito P.Taruno tersebut.

"Mungkin ini jawaban dari doa-doa yang kita panjatkan selama lima bulan terakhir. Semoga ini adalah pilihan serta solusi yang tepat untuk mengatasi penyakit yang mama derita," ujar suamiku.

Terhitung sejak Mei 2012 aku resmi menjadi pasien pak Warsito dan mendapatkan alat ECCT di awal bulan Juni 2012. Saat itu untuk memiliki alat ECCT (Electro Capacitive Cancer Therapy) butuh waktu 1 bulan karena harus dijahit dahulu dan banyaknya daftar antrian. Alat berupa rompi beraliran listrik ciptaan beliau mulai saat itu menjadi teman hidupku. Aku tak ubahnya sebuah handphone, sementara alat ECCT (Electro Capacitive Cancer Therapy) tersebut seperti charger yang terus menyuplai energi kehidupan buatku.  Aku pun mengikuti aturan pakai yang dianjurkan, 16 jam tiap harinya.  Bagiku itu bukan suatu masalah yang berat dibanding aku harus menjalani operasi, chemotherapy dan radiasi.  Selama 16 jam aku tetap beraktifitas seperti biasa, bebenah rumah, ke pasar, masak, antar jemput anak sekolah, les, dll.  Sisa 8 jam dari 24 jam aku gunakan untuk mengisi baterai kembali, mandi, dan istirahat sejenak.

 

Sejak menjadi pasien di klinik pak Warsito, suamiku memutuskan tidak lagi mencari pengobatan alternatif yang lain. Menurut suamiku penemuan pak Warsito P.Taruno ini adalah metode pengobatan yang paling masuk akal dibanding metode pengobatan yang pernah kami cari sebelumnya.

Dengan memutuskan menjadi pasien pak Warsito, mulai saat itu agenda rutin kami setiap awal bulan adalah datang ke Cikokol - Tangerang untuk memantau progres yang terjadi.   Setelah memakai alat ECCT (Electro Capacitive Cancer Therapy) ciptaan pak Warsito P.Taruno, sekali lagi pak Warsito memang tidak memberikan obat tertentu kepada setiap pasiennya. Ia hanya memberikan arahan tentang asupan-asupan makanan yang sebaiknya dimakan serta dihindari untuk menghentikan pertumbuhan sel-sel cancer di payudara kiriku.

Bulan demi bulan setelah menggunakan alat ciptaan pak Warsito P.Taruno ternyata progresnya sangat menggembirakan. Pertumbuhan sel-sel cancer di payudaraku mampu dihambat sehingga tidak makin membesar. Pak Warsito P.Taruno pun cukup fair dengan meminta aku agar juga melakukan cek USG di rumah sakit umum untuk mengetahui sampai di mana progresnya serta menjaga-jaga jika ternyata penyebaran cancer ke tempat yang lain. Cek pembanding ini disarankan dilakukan setiap 1 tahun sekali.

Saran pak Warsito pun kami ikuti. Kami memilih rumah sakit yang terbaik sebagai tempat rujukan untuk memeriksa progres yang terjadi. Agar lebih detail lagi pemeriksaan pun tidak hanya sebatas USG payudara sampai ke ketiak aku juga melakukan rontgen Thorax, USG Abdomen, cek darah, sehingga akan diketahui lebih awal jika terjadi penyebaran ke tempat lain termasuk ke tulang. Puji syukur ternyata cancer itu tidak menyebar ke mana-mana. Itu artinya alat tersebut mampu melokalisir cancer tetap pada tempatnya dan membunuh sel-sel cancer di payudara kiriku.

Bulan berganti bulan, tahun pun berganti tahun, tanpa terasa tahun 2021 ini telah menginjak tahun kesepuluh aku mengenakan alat ciptaan pak Warsito P.Taruno. Aku merasa alat  ECCT (Electro Capacitive Cancer Therapy) ini bukan lagi sekadar rompi yang tak berarti, sebaliknya ini seolah menjadi salah satu bagian dari organ tubuhku. Ke manapun aku melangkah alat ini selalu menemaniku, yang awalnya 16 jam tiap harinya kini turun menjadi 4-8 jam, 4-5 kali seminggu. Hasil USG terhadap cancer di payudara kiriku juga memperlihatkan tidak ada lagi pertumbuhan. Volumenya pun cenderung jauh mengecil dibanding sembilan tahun sebelumnya.  Aku pun kontrol ke C-CARE RISET KANKER C-TECH LABS EDWAR TECHNOLOGY (nama saat ini) di Alam Sutera - Tangerang tiap 3-6 bulan sekali.

Namun yang menyedihkan adalah nasib ibu Lina yang justru pertama kali memperkenalkan aku ke klinik pak Warsito. Ia justru telah lebih dulu menghadap Allah pada tahun 2016 akibat komplikasi dengan beberapa penyakit lain. Sebelumnya ibu Lina juga sempat menjalani operasi pengangkatan cancer di payudaranya.

Satu hal yang hingga saat ini aku hindari adalah operasi. Aku menganggap cancer di payudaraku adalah sudah menjadi bagian dari organ tubuhnya. Biarlah dia damai di situ asalkan tidak mengusik kesehatanku. Tanpa terasa cukup panjang dan berliku perjuanganku dalam mencari kesembuhan. Keluarga besarku dan suamiku, serta sahabat-sahabatku pun seolah tak percaya melihat kondisiku saat ini.

Mimpi-mimpi buruk yang dulu sempat membayangi setiap tidurku kini telah berubah menjadi mimpi yang indah. Hari-hari kini aku jalani seperti biasa lagi. Tawa ceria kembali terdengar di rumahku seiring dengan keceriaan ketiga putriku yang kini mulai beranjak dewasa. Kehidupan ekonomi kami pun sudah membaik seiring perkembangan usaha suamiku.

Terima kasih ya Allah atas nikmat yang masih Kau berikan kepadaku dan keluargaku. Terima kasih juga pak Warsito P.Taruno atas kemuliaan hatinya mau berbagi atas ilmu yang dimilikinya. Sebaik-baiknya manusia adalah yang mampu memberi manfaat kepada orang lain. Semoga Allah membalas semua kebaikan hati pak Warsito. P.Taruno. Semoga semakin banyak pula orang yang bisa merasakan manfaat dari alat yang bapak ciptakan.

(Librianna MS, Depok, April 2021)

CATATAN: Kondisi terakhir Bu Libriana (per Maret 2024), 12 tahun sejak pertama kali didiagnosa kanker dalam keadaan sehat dan aktif, sudah terbebas dari kanker. Tipe kankernya adalah dalam bentuk benjolan padat yang bergerombol menyerupai buah anggur; Tipe ini resisten terhadap kemo dan radiasi, mudah muncul kembali kalau dioperasi karena dipengaruhi oleh hormon, mudah merembet dan menyebar; Apabila menyebar ke organ vitalseperti paru-paru berefek mematikan. Respon tipe kanker ini terhadap ECCT sangat lambat, untuk kasus Bu Libriana perlu waktu 7 tahun untuk membuat jinak (dari gerombolan benjolan padat berubah menjadi kista), setelah menjadi kista (benjolan berisi cairan) perlahan mengecil hingga sampai hilang. Teknologi ECCT terbaru sudah dikembangkan untuk menangani tipe kanker jenis ini (Tipe E1) dengan lebih cepat.

Comments