KANKER DI TENGAH BATANG OTAK, SEMPAT DIDORONG PULANG DARI RUMAH SAKIT DALAM KONDISI SETENGAH SADAR, BANGKIT KEMBALI DAN UMRAH DALAM 2 BULAN SETELAH PAKAI ECCT


Kisah Bu Ninuk yang didiagnosa high grade glioma/glioblastoma, jenis kanker otak yang paling ganas, paling mematikan. Posisinya di tengah-tengah batang otak berefek sangat fatal karena mencengkeram saraf nafas dan jantung, membuatnya berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar. Secara kedokteran hampir tak ada yang bisa dilakukan, baik operasi, radiasi maupun kemo. Vonis dokter menyebutkan tak akan bisa bertahan lebih dari 6 bulan. Satu-satunya alternatif yang mungkin tersisa adalah ECCT. ECCT memiliki kelebihan terhadap jenis sel ini karena massa kanker bisa "meluruh" dan terbuang keluar tubuh secara tuntas, dibanding tipe sel low grade glioma yang cenderung sangat "liat" tak mudah terbuang. Bu Ninuk mengalami progres membaik relatif cepat setelah pakai alat ECCT. Dari kondisi awal setengah sadar saat dibawa pulang dari rumah sakit didorong di tempat tidur, bisa bangun sendiri dalam hitungan hari, bisa beraktifitas normal dalam 2 minggu, berangkat umrah dalam 2 bulan. Melewati 12 tahun dari sejak divonis tak akan hidup lebih dari 6 bulan Bu Ninuk dalam kondisi sehat, aktif dan terbebas dari kanker.

 Foto: Bu Ninuk saat melewati 5 tahun dan 10 tahun sejak divonis kanker batang otak.

Oleh: Nurbadi'ah Barliyan.


"Setiap malam saya telepon. Bukan untuk memastikan dia sehat atau enggak. Tapi saya mau memastikan bahwa dia masih hidup," kata suaminya, Pak Edi, sambil tersendat oleh tangis yang tertahan.

***

"Ini pasien paling bandel. Baru satu bulan pakai alat sudah kabur ke Mekkah, umrah, " kata Pak Warsito mengenalkannya pada saya.

Bu Ninuk cuma cekikikan mendapat omelan itu.

Akhir tahun 2012 Bu Ninuk divonis kanker batang otak. Awalnya ia sering mengalami migrain. Menurut dokter saat itu migrain yang dialami Bu Ninuk disebabkan oleh masalah lambung yang mungkin karena makan yang tidak teratur, stress, dan kurang istirahat.

Namun sakit di kepalanya semakin hari semakin menyiksa. Akhirnya ia pergi ke rumah sakit dan disarankan melakukan MRI setelah mengalami sakit kepala yang amat berat dan nyaris pingsan.

Hasil MRI menyatakan bahwa Bu Ninuk terserang kanker batang otak.

Akhir Desember 2012 ia benar-benar tergeletak tak berdaya dan harus terus dirawat di rumah sakit.

"Ketika itu yang terlintas di benak saya adalah bahwa saya akan terus tergeletak tanpa daya...," kenang Bu Ninuk di masa-masa mencekam itu.

"Yang terpikirkan oleh saya hanyalah anak-anak yang masih sangat membutuhkan bimbingan dan kasih sayang saya. Si sulung kelas tiga SMP sangat butuh pendampingan menjelang ujian,  dan si bungsu masih SD."

Pemahaman tentang kanker yang sangat minim dan tubuhnya yang sangat lemah membuatnya tidak mampu memikirkan apapun tentang kondisinya.

Dua minggu setelah tergeletak di rumah sakit tanpa penanganan khusus untuk kankernya, Bu Ninuk dipulangkan masih dalam kondisi tak berdaya. Tidak ada tindakan apa pun yang bisa dilakukan dokter menghadapi kasusnya.

"Waktu itu saya pikir saya sudah sembuh, karena logikanya pasien kalau sudah diizinkan pulang berarti sudah sehat."  Begitu pikirnya.

Di rumah Bu Ninuk mencoba melakukan aktivitas.  Tapi baru beberapa hari di rumah, kondisinya kembali memburuk. Ia kembali merasakan kesakitan di kepalanya yang amat menyiksa. Akhirnya ia terpaksa dibawa kembali ke rumah sakit.

"Saya cuma bisa bersedih, ngeliat dia tidur sudah sampai melengkung kayak udang saking merasakan kesakitan," kata Pak Edi, suami Bu Ninuk. "Dia minta dipijat sepanjang waktu karena kesakitan."

Di tengah keputusasaan, Pak Edi mengajak adik iparnya Dian dan suaminya menemui dokter untuk mendapatkan kepastian akan penyakit yang diderita orang yang mereka cintai karena tak kunjung sembuh.

"Kami di sini hanya bisa membantu menghilangkan rasa sakit, bukan mengobati penyakitnya," jawab dokter. Tak ada yang bisa dilakukan untuk kanker Bu Ninuk yang berada di tengah-tengah batang otak. Dokternya juga menyampaikan usianya hanya bisa bertahan paling lama enam bulan.

Marah, sedih, kecewa, bercampur jadi satu di benak Pak Edi. Ingin rasanya dia mengeluarkan sumpah serapah mendengar vonis itu.

Pak Edi keluar ruangan untuk menenangkan diri, melepas semua marah, sedih dan kecewa di hatinya. Ketika ada orang yang menyodorinya rokok, diambilnya sebatang, dihisapnya sampai habis. Ketika telah tenang baru dia tersadar bahwa dia tidak merokok.

"Saya gak pernah ngerokok, dan gak sadar tau-tau saya isep saja sampe habis," dia menjelaskan.

Banyak hal yang hilang dari keseharian mereka selama Bu Ninuk sakit. Cerewetnya yang kadang-kadang bikin kesel seisi rumah, sekarang jadi sesuatu yang dia rindukan dari perempuan yang kini hanya tergeletak merintih kesakitan.

Dian, adik Bu Ninuk tak kalah sedih mendengar penjelasan dokter tentang kakaknya.

"Saya shock berat, tiap malam nangis di rumah. Mbak Nuk kakak perempuan saya satu-satunya yang paling dekat dengan saya," cerita Dian.

"Apalagi setelah tau dari dokter bahwa berdasarkan pengalaman dokter menangani pasien dengan kasus yang sama, hidupnya tak ada yang lama, paling lama 3-6 bulan."
 

Dian sangat takut kehilangan kakak kesayangannya.  Dia tak bisa membayangkan bagaimana hidup tanpa Mbak Nuk, tempat dia mengadu dan berkeluh kesah.

Sempat Dian merasa bahwa Allah tak adil memberi cobaan seberat ini kepada kakaknya, yang dia tahu ibadahnya sangat taat.

Meskipun semua sibuk bicara tentang pengharapan dan penyembuhan, tetapi Dian tahu sejujurnya dia seperti hanya akan melihat liang kubur yang akan memisahkan dirinya dan Mbak Nuk tercinta.

Penjelasan dokter adalah akhir dari semua harapan baginya untuk bisa terus bersama kakaknya tercinta, memusnahkan mimpi untuk umrah bersama seluruh keluarga yang sudah mereka rancang lama.

Hanya do'a dan air mata yang kini mendampingi hari-hari Dian, meski saat di hadapan Mbak Nuk dia akan selalu berusaha tampak tenang, agar mbaknya tidak bertanya tentang penyakitnya.

***

Waktu terus berjalan, keluarga masih terus berusaha mencari informasi dan solusi bagi Bu Ninuk.

Suatu hari dokter di sebuah rumah sakit menawarkan pilihan untuk melakukan operasi meski dengan resiko dan tingkat keberhasilan yang tidak menjanjikan akan berhasil.

Pilihan operasi sempat menjadi bahan pemikiran keluarga. Meski harus beresiko pada kegagalan, tapi mungkin lebih baik daripada tidak ada upaya sama sekali.

Tapi ketika mendapat gambaran besarnya biaya yang diberikan rumah sakit keluarganya menyerah. 250 juta untuk sekali operasi dan perlu dilakukan dua sampai tiga kali operasi.

Bukan uang yang sedikit bagi keluarga Bu Ninuk. Mereka menyerah, berserah pada waktu sambil terus berdo'a agar Allah memberi kemudahan bagi Bu Ninuk untuk sembuh.

Kondisi Bu Ninuk terus memburuk. Mata semakin juling, separuh tubuhnya sudah lumpuh tak berdaya lagi untuk digerakkan. Bu Ninuk hanya tergeletak di ranjang dan terus merasakan kesakitan.  

Setiap hari perawat akan datang dan menyuntikkan cairan ke botol infusnya yang diikuti rasa perih panas.

Lelaki yang setiap hari diomelinya itu, setia menuruti semua rengekannya. Memijatnya sepanjang malam untuk sedikit mengurangi rasa sakit di tubuhnya. Semua dituruti oleh lekaki itu, meski esok pagi dia harus berangkat kerja lagi.

"Suami tidak pernah lelah mengurus saya. Menyuapi, memandikan dan mengganti baju saya," kenang Bu Ninuk mengingat masa-masa seram itu. "Belum almarhum tapi sudah dimandikan itu sesuatu yang tak mengasyikan sama sekaki, "katanya.

Lelaki yang selama ini ia anggap sebagai sosok yang lebih banyak menimbulkan kekesalan di hatinya karena gaya bicaranya yang menurutnya sangat kasar itu kini menjadi satu-satunya tempat dia menggantungkan segala rasa.

"Bahkan menggantikan pembalut di kala aku menstruasi pun ia mau. Meski dia bisa memanggil perawat untuk melakukannya," kata Bu Ninuk.

"Di situ saya merasa begitu bersyukur hidup penuh kasih sayang. Ya suami, anak-anak, saudara yang semuanya begitu perhatian. Dan saya terus berdoa'a agar diberi kesembuhan, supaya bisa membalas semua kebaikan mereka," ungkapnya.

Betapa bernilainya anugerah Tuhan itu. Betapa besar rahmat hidup di dunia yang menakjubkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas. Meski ketika malapetaka sedang singgah dan seolah hidup terasa sebagai sebuah kutukan.

Dengan menghayati setengah kehidupan, kita bisa lebih mengesampingkan emosi di saat tanda-tanda kehilangan diri sendiri.

Suatu hari di bulan Januari 2013, suami Bu Ninuk mendapat info dari temannya tentang pengobatan kanker di Tangerang. Isteri teman pak Edi ini juga terserang kanker. Meski akhirnya tidak terselamatkan,  tapi teman ini memaksa Pak Edi untuk segera ke tempat pengobatan kanker di Tangerang itu agar tidak terlambat seperti isterinya.

Suami Bu Ninuk segera berangkat mencari alamat klinik yang diberikan temannya itu, meski sesungguhnya dia tak begitu faham wilayah Tangerang.

"Saya naik bus ke arah Tangerang. Saya duduk di bangku paling belakang. Saya tau bahwa nanti kondektur setelah mengambil uang dari penumpang biasanya duduk di bangku belakang yang kebetulan kosong. Jadi saya bisa bertanya."  Begitu cerita perjuangan suami Bu Ninuk itu.
 

Pak Edi sama sekali tak faham, apa yang akan ditemuinya di klinik riset kanker yang direkomendasikan temannya itu. Dia pun tak mau banyak tanya, karena isteri temannya ini baru saja meninggal di saat mereka baru saja dapat info tentang keberadaan alat kanker temuan Warsito di Tangerang.

Di jalan terdekat ke arah alamat yang dia tunjukkan ke sang kondektur, Pak Edi diturunkan.

"Begitu turun dari bus di jalan utama, saya bingung mau ke arah mana. Waktu itu belum kayak sekarang bisa pakai Google map," kisahnya.

"Saya liat ada tukang ojek mangkal. Gak tau tukang ojek apa orang lagi nongkrong aja di atas motornya, pokoknya saya mau minta tolong," cerita Pak Edi.

Si Tukang ojek kebetulan tau alamat tersebut, bahkan tidak mau menerima bayaran karena dia ingin membantu orang yang sedang dalam kesusahan.

"Saya temui mbak yang di meja resepsionis dan jelasin kalo saya mau berobat untuk isteri," kata Pak Edi. Ia menunjukkan semua berkas yang dibawanya dan menjelaskan kondisi isterinya yang memang sudah tidak bisa ikut datang.

Pak Edi menunggu cukup lama.  Dari jam 9 pagi sampai jam 3 sore baru dapat panggilan. Ketika masuk di ruangan, ia tak bertemu dengan yang namanya Pak Warsito. Saat itu ia hanya menemui seorang anak muda yang kelihatannya memang pintar. Namanya Vian.

"Anak muda itu menjelaskan tentang kasus isteri saya, dan menjelaskan tentang alat yang diberi nama ECCT," kata Pak Edi.

"Saya juga tak tahu anak muda itu dokter atau tukang jahit karena setelah memberikan penjelasan alat anak muda itu menyuruh mengukur lingkar kepala, leher, dan ukuran tubuh isterinya yang lain."

Belakangan Pak Edi baru tahu bahwa anak muda itu adalah tenaga fisika medis. Saya juga baru tahu kalau ada tenaga kesehatan yang namanya fisika medis yang teregistrasi di Kementerian Kesehatan.

Pak Edi tak faham alat yang akan dibuatkan untuk isterinya. Dia pun tak tahu apa yang mesti ditanyakan karena tak tahu apa-apa tentang  alat itu.

Ia cuma mengingat pesan temannya yang bersungguh-sungguh menyuruh dia ke sini.
Dia yakin itu adalah sinyal yang baik bagi kesembuhan isterinya.

Akhirnya setelah mendapat ukuran yang dibutuhkan, Pak Edi kembali disuruh menunggu karena alat sedang dalam proses pembuatan.

"Ketika itu saya hanya pasrah tapi optimis bahwa inilah jalan yang terbaik bagi isteri saya, ibu anak-anak saya. Gak tega saya melihat dia tiap hari kesakitan."

Akhirnya Pak Edi kembali dipanggil karena alat sudah selesai dan harus menyelesaikan biaya administrasi.

"Saat itu betul-betul bingung karena saya gak punya duit. Akhirnya nekat saya telpon adik untuk minta dia transfer saat itu juga, " kisahnya. Kebetulan sang adik ada dana dan segera bisa membantu menyelesaikan masalah administrasi agar alat bisa dibawa pulang.

Dia mendapatkan alat itu berupa tutup kepala menyerupai helm tetapi tipis, disambungkan ke kotak berisi batere kecil untuk membangkitkan listrik ke alat bentuk helm.

Bila Allah sudah mengulurkan tanganNYA, semua langkah menjadi sangat mudah.

Hari sudah malam ketika itu. Setelah naik ojek ke jalan utama, Pak Edi menunggu bus yang ke arah Jakarta seperti ketika paginya dia datang.

Namun nyaris satu jam tidak satu pun bus ke arah Jakarta yang lewat. Pak Edi mencoba menghampiri tukang tambal ban dan bertanya.  

"Bus cuma sampe jam 4, pak," kata si bapak berlogat batak itu. Dia membantu Pak Edi dengan menyetop mobil yang lewat. Tetapi Pak Edi tak faham pembicaraan bapak itu dengan sopir yang distopnya. Mereka berbincang bukan dalam bahasa Jerman yang Pak Edi tak mengerti, tapi dalam bahasa Batak yang dia lebih tak mengerti.

Tetapi lagi-lagi pertolongan Allah datang. Dalam ketidak-mengertian tadi, akhirnya dia faham bahwa Abang penambal ban minta tolong sopir kawannya tadi untuk mengantar Pak Edi ke halte bus terdekat ke arah Jakarta.

Pak Edi kembali menjumpai belahan jiwanya. Sampai di rumah sakit dia berkata pada isterinya.

"Bun, besok pagi kita urus administrasi biar kita bisa pulang."

Bu Ninuk hanya patuh dalam ketidak-berdayaan.
 

"Waktu itu saya cuma bisa pasrah. Topi item ini apa, gimana kerjanya, apakah bisa bikin saya sembuh sudah gak saya pikirin," cerita Bu Ninuk.

"Kita berobat di rumah pakai alat ini aja.  Ayah yakin inilah jalan yang Allah berikan buat kita," kata Pak Edi.

Sebegitu yakinnya dia terhadap keampuhan alat yang sesungguhnya belum dia buktikan hasil kerjanya itu.

***

Mereka mulai berjuang bersama ECCT. Beberapa hari setelaj pakai alat Bu Ninuk mulai ada perkembangan membaik. Matanya mulai berangsur kembali ke posisi semula. Awalnya pergeseran matanya masih sangat lambat dan membuatnya pusing. Akhirnya mereka sepakat menutup mata yang masih bermasalah itu sampai benar-benar pulih. Tangan dan kakinya sudah mulai bisa digerakkan.

Kerinduan Pak Edi akan kicauan Bu Ninuk terobati.

"Kalau dia lagi marah, ngomel-ngomel, pokoknya dia jadi juara banget dan seisi rumah bisa berubah jadi terdakwa. Dia hebat banget. Super *TER* lah. Itu nyenengin banget buat saya...," kata Pak Edi.

Dia akan bilang ke anak-anak," Kalian tau gak tanda-tanda kalo bunda tuh sudah sehat..?" Tanya Pak Edi ke Abim dan Ibam anak mereka. "Marah-marah itu tandanya dia sehat. Kan kalo lagi sakit dia merengek aja kesakitan..."

Saya bisa membayangkan sebelnya Bu Ninuk yang sudah capek-capek ngomel, tapi yang diomelin malah cengengesan. Pastilah timbul rasa mau ngambil batu ulekan di dapur buat benjolin jidat yang cengengesan tadi.

Kita harus menyadari dengan sepenuh jiwa,  bahwa pernikahan melewati jalan menanjak dan menurun. Akan melalui tangis dan tawa, susah dan senang.   

Pernikahan tidak menjanjikan jalan jadi penuh bunga.

Saling memaafkan, saling mengerti atas semua perilaku buruk maupun baik adalah hadiah terindah.

Dalam kehidupan.
Semakin intim kita.
Ketemu setiap saat.
Dalam berbagai suasana.
Habis makan jengkol atau makan duren.
Lagi damai ataupun ngambek.
Lagi bokek maupun buntu.
Lagi wangi ataupun anyir..
Maka peluang berantem akan semakin besar.

Saat-saat yang selalu kita rindukan adalah di saat kawan berantem kita tak melakukan perlawanan.

***

Dalam hitungan minggu, Bu Ninuk sudah mulai bisa beraktivitas lagi meski belum mendekati normal, dibantu dengan rutin melakukan fisioterapi. Tentu dengan diantar didampingi oleh lelaki paling "menyebalkan" di muka bumi yang bernama suami itu.

2 bulan setelah pakai alat ECCT Bu Ninuk minta diizinkan untuk berangkat umrah bersama keluarganya, seperti yang memang sudah lama mereka rencanakan.

Hati Pak Edi sesungguhnya masih sangat berat. "Jalannya masih diseret waktu dia izin tetap mau berangkat umroh," ceritanya.

Tetapi melarangnya pun Pak Edi tak punya keberanian. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan justeru berefek buruk pada perkembangannya yang sudah mulai membaik, yang mungkin bisa jadi penyesalan di esok hari.

"Meski dengan berat hati, saya lepas dia pergi. Sambil saya titip ke masnya dan Dian adiknya, dan kawan-kawan seperjalanannya," kata Pak Edi.

Hanya do'a yang bisa dia panjatkan sepanjang melepas kepergian sang isteri, di tengah rasa gelisahnya.

"Setiap malam saya telepon. Bukan untuk memastikan dia sehat atau enggak." Di sini Pak Edi mulai tersendat oleh tangis yang tertahan. "Tapi saya mau memastikan bahwa dia masih hidup."

***

Kanker bukanlah seperti seseorang tertelan biji duku, yang kata nenek bisa tumbuh pohon di perut.

Kanker adalah pertempuran besar yang berpengaruh pada setiap sendi kehidupan seseorang dan keluarganya. Dia bisa membuat hidup seseorang porak-poranda.

"Dan dia mengganggu isteri saya,  belahan jiwa saya," kata Pak Edi. "Semakin hari, saya semakin menyadari bahwa saya tidak bisa hidup jauh darinya."

Saya mencoba memahami semua rasa di hati Pak Edi ketika itu. Dan saya semakin menikmati hal-hal kecil yang selama ini tidak menjadi perhatian saya.

Merasakan semilir angin, kenikmatan sederhana yang membawa kebahagiaan besar. Rancangan Tuhan sangat sederhana, tetapi sempurna, hanya kita manusia yang membuatnya menjadi rumit.

Maka kita selalu diajarkan belas kasih.  

Sekarang saya tahu bahwa setiap manusia berusaha menuju sasaran akhir.
 

Lantas masa depan apa yang dijanjikan orang yang mengalahkan kanker? Kehidupan, belajar dan kasih. Bila kita berpaling dari kasih, kita tidak akan mendapatkan apa-apa dalam hidup.

Aku jadi merasakan betapa berharganya hidup.

Jika kita didera masalah yang begitu berat, bertubi-tubi, itu adalah cara Allah membangun pondasi yang kuat bagi diri kita.

Prosesnya tidak mudah. Tidak sebentar. Jika pondasi itu sudah kokoh dan kuat, dia akan mampu menopang beban seberat apapun.

Allah tidak 'iseng' memberikan kita masalah. Dia hanya ingin kita kuat, bukan sekarat.

Berbaik sangka dengan semua ujian yang diberikan Allah bukanlah hal yang mudah. Ia butuh waktu yang lama, dan hati yang lapang agar kita bisa merasakan karunia-NYA.

***

Akhirnya Bu Ninuk berangkat umrah bersama keluarganya meski dalam kondisi belum sehat sempurna. Dengan satu keyakinan bahwa di sana dia akan baik-baik saja bersama helm kankernya itu.

"Helm kanker hitam ini terus saya pakai selama saya melakukan ibadah," cerita Bu Ninuk. "Karena benda inilah saya tetap bisa sampai ke tanah suci. Mewujudkan keinginan umroh bersama keluarga."
 
Jauh di lubuk hati, ia sangat bersyukur atas anugerah yang Allah berikan kepadanya. Hingga di saat harapan hampir sirna, di saat suluh hampir padam, Dia mencurahkan karunia-NYA seperti hujan lebat di tengah gurun pasir yang tandus.

Di tanah suci, Bu Ninuk begitu semangat melaksanakan semua ibadah dengan segala keterbatasannya.

"Hilang semua kekhawatiran kami selama di tanah suci," kata Dian adiknya yang mendampinginya. "Setiap waktu sholat Mbak Nuk pasti ke masjid.  Sementara saya yang sehat saja kadang kecapean."

Semula mereka sudah membayangkan akan mendorong dua kursi roda selama ibadah di sana. Ibu yang memang sudah sepuh, dan Bu Ninuk yang masih sakit.

Tetapi semangat untuk sehat dan mukjizat dari Allah buat Bu Ninuk benar-benar membuat sakit dengan vonis mati itu yang dialaminya sirna seperti tulisan di atas pasir yang tersapu ombak.

"Selama di tanah suci saya terus berdo'a memohon kesembuhan. Dan mendo'akan orang-orang yang telah membantu saya selama saya sakit," kisahnya.

"Setiap hari saya basahi kepala saya dengan air Zam-Zam, saya guyur seluruh tubuh saya di saat mandi, agar semua penyakit pergi."

Akhirnya saat pulang pun tiba. Pak Edi tidak sabar menunggu kedatangan isterinya di area penjemputan di bagian Kedatangan Bandara Soekarno-Hatta.

Ibu mertuanya keluar duluan di area pintu kedatangan didorong kakak ipar, masnya Bu Ninuk.

Tidak lama kemudian keluar Dian, adik Bu Ninuk, hanya sendirian. Pak Edi gelisah. "Mana dia?" Jiwanya berkecamuk dengan pikiran tak menentu.

"Mana mbakmu?" tanya Pak Edi di tengah rasa kangen, cemas, kesal pada Dian karena meninggalkan mbaknya yang sakit di belakang. Otak Pak Edi dipenuhi tanda tanya dan kecemasan.

"Saat saya mulai panik, dia muncul mendorong kereta dorong besar berisi kopernya." Pak Edi lagi-lagi menangis mengingat saat itu. "Kakinya melangkah. Saya liat dia melangkah. Bukan nyeret..."

Hanya ucapan rasa syukur yang menggema di sela tangis bahagianya. Dipeluk dan diciumi isterinya dengan penuh rasa syukur.

Meskipun dunia penuh dengan penderitaan, dunia juga penuh dengan keberhasilan.

Seminggu sepulang dari Mekkah Bu Ninuk bertemu dengan Pak Warsito untuk pertama kalinya.

"Ketika melihat wajah saya Pak Warsito seperti bingung, seolah-olah tidak percaya. Beberapa kali dia melihat ke layar komputer di depannya mengamati gambar MRI saya, kemudian kembali melihat saya tanpa bicara apa-apa. Setelah beberapa kali bolak-balik menengok ke layar komputer dan wajah saya dia bertanya: "Ibu benar yang namanya Bu Ninuk Wulandari?"

"Benar, Pak," kata Bu Ninuk. "Saya baru pulang dari umrah, Pak, " lanjutnya tanpa perasaan bersalah.

"Umrah?" tanya Pak Warsito sepontan sambil terperanjat. "Umrah ke Mekkah?"

"Ya, Pak," jawab Bu Ninuk.
 

"Ibu siapa yang membolehkan ibu pergi umrah?" kata Pak Warsito cepat dengan nada agak tinggi. "Ibu tahu nggak penyakit ibu? Kanker ibu mencengkeram saraf jantung dan paru-paru di batang otak. Kalau ibu drop seketika itu juga tak akan selamat," jelas Pak Warsito. Dia seperti panik.

Bu Ninuk merasa 'mrinding,' tetapi masih tak faham.

"Tetapi ibu tak apa-apa?" tanya Pak Warsito kemudian dengan nada agak melemah.

"Tidak, Pak. Saya malah jalan saya jadi normal sepulang dari Mekkah," jawab Bu Ninuk. Pak Warsito hanya bisa geleng-geleng kepala.

***

Setelah berbulan-bulan semua air mata itu akhirnya terhapus. Mereka akhirnya menyadari betapa banyak yang kita miliki dalam hidup ini.

Hidup terbang berlalu, tak seorang pun tahu kapan akan berakhir.

Dan bila Tuhan belum memperbolehkanmu beristirahat dengan tenang, sebesar apa pun masalah yang seolah hampir memisahkan nyawa dari ragamu, semua tidak akan terjadi.

Mungkin masih tersisa tugas kita di sini.

Sore itu di awal Maret 2020, di tengah ramainya berita Covid-19 di Cina, langit seolah menangis. Petir menyambar di sela derasnya hujan badai. Aku menerawang langit yang kian tunduk menjemput senja di kegelapan. Sinar lampu ibu kota redup tertutup derasnya hujan.

Saya dan Bu Ninuk bergegas ke rumah sakit menerobos hujan badai untuk menjenguk Chelsea, seorang anak balita yang sedang berjuang melawan kanker batang otak. Kami berdua mencoba menuang sejumput harapan pada anak kecil itu yang sedang ditemani di ruang ICU oleh kedua orangtuanya, pasangan yang masih muda.

Harapan akan selalu ada. Bagai setetes embun di padang gersang, menawarkan kesejukan dan kedamaian.

Kadang-kadang Tuhan seperti bercanda. Sebentar terlihat harapan, lalu dipadamkan, atau bisa jadi ditunda.  Ada hal-hal yang dikira manusia baik bagi dirinya, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita.

Jika gelap, biarkan harapan menuntunmu. Mentari akan selalu terbit, menerangi jiwamu (NB).

 Tentang ECCT: https://c-techlabs.com/electro-capacitive-cancer-therapy-ecct-devices/

Comments