KESEMPATAN HIDUP KEDUA: KANKER PARU-PARU MELEWATI 10 TAHUN DARI VONIS MEMATIKAN

10 tahun dari vonis kematian akibat kanker paru-paru stadium akhir





Oleh: Nurbadi'ah Barliyan 


"Begitu dokter kasih vonis bahwa umur saya gak akan lebih dari dua bulan, saya takut banget…,” kenang Toni.

"Langsung kepikiran, bakal diapain saya di alam sana dengan begini banyak dosa yang sudah saya perbuat."

"Egoisnya...!" saya spontan nyeletuk.

"Kok, egois…?" balas Toni.

"Apa gak langsung terpikir gimana nasib isteri? Jangan-jangan doi langsung buka daftar deretan para mantan," ledek saya.

"Itu kalo isterinya Ibu," jawabnya tanpa ditutup-tutupi.

"Isteri saya tuh jempol banget," lanjutnya sambil mengacungkan kedua ibu jari tangannya.

"Apa gak terpikir gimana nasib anak-anak kalau gak ada papanya lagi?!!"  Saya geram karena dia hanya asyik mikirin dirinya sendiri. Saya tak pedulikan ledekannya ke saya.

"Gak kepikiran apa-apa selain takut…," balasnya sambil termenung.

"Iya, sih, egois banget, ya. Cuma mikirin diri sendiri.  Waktu itu saya memang manusia jahat."

Toni dinyatakan dokter terserang kanker paru-paru dan sudah dalam kondisi yang sangat berat.

"Lihat, nih, bu…," katanya menunjukkan gambar CT-san paru-parunya ketika itu yang masih tersimpan di hapenya.

Ada tumor berukuran 10 centimeter di paru-parunya menempel pada jantung, dengan cairan yang memenuhi paru-paru kirinya. Hasil biopsi dokter menunjukkan tipe ganas, jenis adenokarsinoma. Tak banyak yang bisa diperbuat dokter menghadapi kasus kanker paru yang menyerang Toni.

Saya bergidik membayangkan bagaimana rasanya.  Meski saya awam dengan dunia kesehatan, tapi bisa membayangkan bagaimana sesaknya nafas dengan kondisi paru-paru seperti itu.

"Memang selama ini gak terasa apa-apa?" tanya saya heran, karena tiba-tiba saja sudah vonis mati.

"Sering terasa sesak nafas. Saya pikir biasa aja karena hidup saya memang berantakan," cerita Toni.

Tahun 1998 adalah masa-masa puncak kehidupan “liar” Toni.  Dia dan teman-temannya terjebak dalam kehidupan glamor dan hura-hura.  Ketergantungan obat, minuman keras dan semua bentuk kehidupan anti-mainstream lain mereka jalani.

Tiada hari tanpa hura-hura.

Bahkan ketika isterinya mau melahirkan anak mereka yang pertama, dia baru sampai di rumah sakit saat isterinya sudah didorong masuk ke ruang operasi. Sudah berhari-hari isterinya menghubunginya untuk memberitahu dirinya sudah mau melahirkan. Tapi tak ada jawaban dari suaminya itu. Ini anak pertama mereka, sudah pasti isterinya sangat meinginkan suaminya ada di sampingnya di saat-saat seperti ini. Bayinya pun di dalam perut sang ibu seolah-olah enggan keluar, menginginkan kehadiran papanya saat hendak hadir ke dunia. Sampai akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan operasi demi menjaga keselamatan ibu dan anak ini.

"Setelah semua kejadian yang menimpa saya, baru saya sadari betapa jahatnya saya sama isteri saya. Sama anak saya yang saya telantarkan." Hal yang tidak pernah terlintas di benaknya selama ini.

"Sampai sekarang kadang penyesalan itu masih muncul. Apalagi ketika melihat isteri saya yang tetap begitu baik, meski saya sudah sangat “jahat” kepadanya."

Kejadian kelahiran anaknya itu tidak membuatnya jera. Dia tetap terus menjalani hidup dengan gaya hidup semaunya.

Semua bermula karena kepentingan bisnis.  Menjamu partner bisnis dengan berbagai kesenangan, dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang tidak bisa lagi dia tinggalkan. Konsumsi obat membuat Toni berkali-kali berurusan dengan polisi. Bisnisnya jadi berantakan, ekonomi rumah-tangganya sekarat.

Tinggal wanita yang menjadi isterinya yang tetap setia menemaninya di saat ekonominya hancur.

Dalam kondisi ekonominya yang berantakan, tubuhnya pun mulai terasa begitu banyak masalah. Juni 2012, Toni merasakan sesak di dalam dadanya dan terus bertambah semakin parah. Ketika itu dokternya menyatakan bahwa ia terserang TBC. Masuk akal, mengingat gaya hidupnya yang tidak teratur.

"Waktu itu cairan sudah memenuhi paru-paru saya," cerita Toni.

Dokter melakukan tindakan menyedot cairan yang memenuhi paru-parunya. Karena sudah sangat banyak, proses mengeluarkan cairan tidak bisa dilakukan sekaligus. Sekali sedot bisa mencapai 3 liter. Penyedotan dilakukan secara bertahap, setiap 2 minggu sekali, sesuai prosedur dokter.

Tetapi berkurangnya cairan tidak serta merta membuat nafas Toni lebih nyaman.  Ia masih terasakan sakit dan berat yang sangat di dadanya.  Dokter menaruh curiga dan memerintahkan untuk melakukan periksa kesehatan lebih lanjut dengan CT scan. Sampai akhirnya diketahui bahwa ia terkena kanker paru-paru dan ditemukan tumor dengan diameter 10 centimeter di paru-parunya.



"Saat itu saya hanya berpikir bahwa saya akan menjadi tawanan dunia medis," kata Toni.

Karena dengan vonis kanker itu dia tahu harus berurusan dengan dokter, rumah sakit dan obat-obatan.

Tetapi menghadapi kasus ini, dokter pun hanya bisa membantu menyedot cairan yang sudah memenuhi rongga paru-parunya, tidak banyak yang bisa diperbuat untuk menangani kankernya.

Dokternya mengatakan bahwa usianya hanya tinggal dua bulan lagi.

"Vonis yang membuat saya semakin merasa sakit. Kadang saking sakitnya saya jadi gak tau lagi, apakah saya masih hidup atau sedang disiksa di neraka." (“na’udzubillah min dzalik”, red).

Ini menjadi hari yang sangat berat bagi Toni dan keluarganya.  Ia menjelaskan betapa putus-asanya dia kala itu.

Seluruh keluarganya sudah berkumpul tidak kemana-mana lagi, sama-sama menghabiskan waktu dengan berbicara, menangis, bedo’a dan berusaha memahami semuanya, berbincang tentang mimpi-mimpi yang hancur berantakan.

"Keputusasaan tercemin pada mata mereka yang mengasihi saya. Dan saat itu saya tau bahwa saya harus bangkit. Dokter boleh saja tidak memberi saya harapan hidup, tapi saya tak mau penyakit ini mengalahkan saya." 

Begitu tekad Toni ketika itu.

Ketika semua mimpi dan harapan seolah telah hanyut ke sungai dan hilang di samudera yang luas, kita seolah merasa bahwa hidup kita hanya akan menjadi sebuah kenangan yang hanya berputar-putar di ruang yang sama, kenangan akan semua petualangan dalam hidup itu akhirnya seperti mencekik kita, membawa kita pada lorong kematian.

Di malam vonis kematian itu, Toni seolah melihat bintang, dan cinta yang tulus membimbingnya menuju cahaya terang; cinta dari orangtuanya, kakak dan adiknya, isterinya yang begitu sabar,  juga anak-anaknya yang ketika itu masih belum mengerti apa-apa.

"Ketika itulah saya baru berfikir untuk bicara pada Tuhan," kata Toni yang selama ini hidup seolah telah mengabaikan-Nya.

Berbicara pada Tuhan tentang harapan, untuk membangkitkan optimisme hidup yang akan dilaluinya.

"Saya merasa hidup di dua dunia.  Keduanya menggambarkan kesunyian dan rasa sakit yang sama-sama membuat saya ketakutan," kisahnya.

Toni dan keluarganya sudah bersikap pasrah menunggu saat kematiannya tiba.

Tetapi mengingat mati justru memberinya kekuatan hidup di saat ia harus menentukan pilihan saat tidak ada banyak pilihan. Meski percaya bahwa semua rasa sakit, ketakutan dan kegagalan akan hilang ketika sang kematian tiba, tapi mati tetap membuatnya takut.

“Pergi ke alam lain sendiri dan tak tau apa yang akan terjadi di sana nanti, terus terang itu sangat menakutkan,” suaranya lirih dalam keputus-asaan.

"Saya seolah melihat kematian saya nampak di cakrawala, dan tak ada yang dapat saya lakukan lagi. Itu seperti melihat lorong gelap tanpa ujung, tanpa cahaya apa pun. Sungguh suatu masa yang sangat menyeramkan.”

Sampai akhirnya adik Toni mendapat info tentang Dr. Warsito Purwo Taruno dan risetnya tentang alat pembasmi kanker.

"Saya merasa punya harapan besar. Meski saya belum tau apakah ini akan berhasil atau tidak," kata Toni. 

Dalam kesulitan yang begitu berat, pikirannya terperangkap dalam kegelapan yang panjang, ia sempat merasa tak ada lagi harapan. Setelah harapannya besarnya kandas, dan mencoba ikhlas terhadap takdir yang telah digariskan Tuhan, dia merasa ternyata belum sungguh-sungguh kandas.

"Ketika itu saya membuat perjanjian dengan Sang Pencipta, bahwa kalau saya sembuh saya tidak akan menyia-nyiakan hidup saya lagi. Dan saya akan berusaha semampu saya untuk melakukan hal yang baik." 

Begitu yang ada dalam pikiran Toni meskipun harapan baru itu masih kabur.

Dia mulai merenungi semua keburukan yang telah dilakukannya terhadap orang-orang yang sekarang tidak pernah meninggalkannya, tetap menemaninya di saat keterpurukan seperti ini.

Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depannya, tapi pada momen-momen  seperti ini dalam hidup Toni.

Juli 2012, nyaris satu bulan setelah menerima vonis mati, Toni mulai menjalani hari-harinya bersama alat ECCT. Rompi anti-kanker itu menjadi satu-satunya yang memberi dia harapan hidup.

"Saya sempat sekali mengikuti saran dokter untuk kemoterapi. Nyerah, saya, “ kata Toni.

"Rasanya berat sekali. Boro-boro bikin sembuh, malah yang tadinya cuma sakit di dada, setelah kemo malah hancur rasanya semua badan saya."

Sejak itu Toni hanya mengandalkan rompi kanker buatan Warsito saja.

Masa 2 bulan setelah vonis dokter di awal pun berlalu. Tahun berganti, Toni masih menghirup nafas udara di muka bumi. Dia terus aktif memeriksakan perkembangan kankernya ke rumah sakit, awal-awal setiap bulan, kemudian menjadi setiap 3 bulan, kemudian setiap 6 bulan, dan sekarang hanya setahun sekali.

Awal memakai alat rasanya juga sangat berat. Tetapi hasil pemeriksaan dari rumah sakit sungguh membuatnya semakin bersemangat. Bukan saja nafasnya semakin lega, tubuhnya juga semakin sehat. Cairan di paru-parunya berhenti produksi setelah 3 bulan pakai alat ECCT. Hasil pemeriksaan CT scan di rumah sakit setiap 6 bulan hingga setahun sekali menunjukkan kankernya semakin mengecil.

Dari wajahnya tak nampak sama sekali adanya tanda-tanda ia pernah menjadi penderita kanker. Wajah Toni begitu penuh semangat dan keceriaan.

Dan, ‘hei,’ di tangannya ada lukisan.

"Ini ada ceritanya," kata Toni menjelaskan.

"Sebelum dokter menyedot cairan di paru-paru saya, badan saya ini mulus banget."

Kalimatnya membuat mulut saya menganga lebar-lebar, karena mendengar kalimat pengakuan ‘mulus’ yang begitu mencengangkan.

"Oh, yaaaaaa??!!" cuma itu yang bisa keluar dari mulut saya ketika itu.

"Hasil prakarya dokter di tubuh saya, membuat kemulusan tubuh saya jadi hilang," lanjutnya tanpa memperdulikan keterkejutan saya.

Luka bekas proses menyedot cairan di paru-paru Toni menyisakan parut yang “kurang indah” di tubuhnya. Tiga kali proses penyedotan cairan, meninggalkan tiga bekas lubang yang membuat tubuhnya tak mulus lagi. Mungkin bahkan bisa masuk katagori “cacat fisik.”

Mungkin itu yang membuatnya ingin sekalian “dilukis” saja. Sekaligus untuk mengaburkan rasa sakit yang sangat akibat kanker di dalam dadanya.

Adik Toni mengajaknya ke sanggar Tatto sebagai salah satu upaya menghilangkan jejak “buruk” dan sakit di tubuh Toni.

Ada alasan untuk setiap lukisan yang terpatri di tubuhnya. Dan ada banyak pesan di sana. Pesan tentang keberanian dan harapan. Pesan yang hanya bisa dieja dengan air mata, rasa sakit, dan keringat yang meleleh. Pesan yang menjerit kepada kita semua, bahwa dalam hidup semua itu mungkin dan tak ada yang mustahil.

"Tatto pertama adalah lambang Aquarius karena saya bintang Aquarius," kata Toni.

"Wah, sama, donk, Pak. Saya juga Aquarius," sahut saya spontan.  "Pantes kita gak jodoh ya, Pak."

"Apa hubungannya bintang sama jodoh?" sanggah Toni.

"Hubungannya mesra, karena terlarang," jawab saya asal saja.

"Bener, tuh. Semua yang terlarang itu memang asyik," cengengesannya mencerminkan kenangan masa lalunya yang indah tapi mungkin menyesatkan.

Saya membayangkan, alangkah sakitnya proses pembuatan Tatto.  Karena alat yang dipakai untuk melukis dan mewarnai tubuh berupa jarum yang menari-nari di atas kulit di tubuh kita. Disuntik yang cuma sekali tusukan saja sudah membuat merinding.

"Ditatto itu masih jauh lebih ringan sakitnya kalau dibanding kanker," jelas Toni.

"Apalagi ditambah vonis mati. Takutnya bikin badan terasa makin sakit.”

Hari demi hari terus dilaluinya.  Setiap detik menjanjikan harapan. Toni seperti mendapat kesempatan kedua untuk hidup. Sungguh dia merasa sangat berhutang nyawa dengan Dr. Warsito.

"Di saat semua enggak memberi harapan, di saat dalam kesakitan menunggu kematian, rompi ini menyelamatkan saya," kenangnya.

Maka ketika suatu hari anaknya yang sekarang sudah kuliah di kampus mendengar dosennya saat ngasih kuliah mengatakan, bahwa Warsito sudah melakukan penipuan dengan seolah-olah berhasil menyembuhkan orang dari kanker tapi ternyata tidak, sehingga membuat Warsito kabur ke luar negeri. Saat itu anaknya yang sesungguhya sangat pendiam dan pemalu dengan berani angkat bicara.

"Mohon maaf, pak, beri kesempatan saya untuk bicara," anaknya nekat berbicara. "Papa saya sudah divonis mati oleh dokter karena kanker paru-paru ganas dengan usia hanya tinggal dua bulan, sekarang papa saya masih hidup, bahkan sudah sembuh hanya dengan pakai rompi Pak Warsito. Dan Pak Warsito enggak pergi kemana-mana, kemarin saya baru antar papa saya ke sana, dan berjumpa dengan beliau."

Dosen itu diam seribu bahasa.

Seisi kelas senyap.

"Saya siap membuktikan kebenaran ucapan saya. Data medis dari rumah sakit semua lengkap," lanjut anak ini.

"Saya bisa buktikan bahwa Pak Warsito bukan penipu. Papa saya hutang nyawa pada beliau." Sampai di kalimat ini anaknya sudah menangis.

Hatinya mendidih ketika orang yang telah membantu menyelamatkan hidup ayahnya, mengembalikan lagi harapan seluruh keluarga dari kehancuran terus dihujat dan dianggap sebagai penipu.

Kanker mengajari kita memahami secara dalam tentang apa yang sebetulnya perlu dalam hidup ini.

"Tahun 2018 saya dinyatakan bersih dari kanker oleh rumah sakit yang memeriksa saya," kata Toni. Nama lengkapnya Antonyus Hertanto.

Hasil biopsi dengan ‘CT guided’ terhadap jaringan bekas tumor yang masih sisa menunjukkan ‘fibrosis’ atau jaringan ikat seperti bekas luka. ECCT telah membuat kanker ganas yang mematikan yang tadinya mencengkeram jantungnya menjadi jaringan scar tissue, seperti bekas luka yang telah sembuh.

Semua tak berdaya menyaksikan waktu yang terus menyelinap pergi, dedaunan berubah dari hijau menjadi kuning, tinggal menanti hembusan angin menggugurkannya, musim terus berganti, kehidupan datang dan pergi.

Pengalaman hidup Toni menghadapi kankernya mengajarkan kepada kita bahwa hidup tidak bisa diramalkan. Kehidupan itu bukan milik kita, tapi milik Tuhan Yang Maha Pencipta.

"Saya mendapatkan kesempatan kedua dalam hidup karena Pak Warsito," kata Toni. "Dan saya tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu lagi."

Warsito adalah orang yang telah membawa sinar matahari yang menerangi hidupnya dari lorong kegelapan. 

Matahari akan selalu bersinar tepat waktu, meski kehadirannya diinginkan atau tidak. Meski waktu menenggelamkannya dalam gelap malam, esok hari mentari tetap akan hadir kembali dan membawa  harapan baru, dan hidup baru.

"Suatu hari, saat saya masih belum benar-benar sembuh dan masih bolak-balik kontrol ke rumah sakit, saya dibawain isteri makanan karena takut antrian lama. Saat itu saya lihat ada ibu-ibu sendirian mebawa anaknya yang tergeletak sakit. Dia kelihatan lesu sekali."

"Saya kasihkan makanan saya ke ibu itu. Ibu itu mengaku kalau belum sempat makan sama sekali. Dan dia makan dengan sangat lahap. Diam-diam saya menangis. Karena merasa sangat bahagia melihat ibu itu makan, sambil menyesali semua masa lalu saya," kisah Toni.

Kesempatan besar untuk menolong sesama seperti yang dihadapi Toni dalam perjuangan melawan kanker tak selalu muncul setiap hari. Dan tidak setiap orang mampu juga memiliki kesempatan yang seprti itu. Tapi ada banyak kesempatan kecil di sekitar kita setiap hari seperti yang dilakukan Toni ke ibu itu.

Ia kian menyadari, bahwa kebahagiaan karena memberi, karena melakukan kebaikan itu sangat membuat hati kita sendiri jadi bahagia.

"Saat itu rasa menyesal di hati saya kembali mengental dan merasa sangat bodoh karena selama ini sudah mencari kebahagiaan dengan cara yang lain," kata Toni penuh penyesalan.

Mata lelaki di hadapan saya ini, sudah mulai berkaca-kaca. Kanker juga sudah menewaskan semua kawan-kawannya dalam group hura-huranya.

”Kami semua sembilan orang, telah menyia-nyiakan hidup hanya untuk bersenang-senang,” kisahnya.

“Delapan orang rekan saya telah berakhir karena kanker. Kanker yang ditimbulkan oleh gaya hidup sendiri itu, akhirnya merenggut nyawa kami satu per satu.”

“Tersisa saya sendiri dari sembilan orang ini, yang selamat setelah sempat bertemu Pak Warsito.”

"Saya masih mencari jawaban atas misteri kenapa hanya saya yang masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk hidup," kata Toni sambil menerawang.

Kanker memang memberi suatu kesadaran baru terhadap kehidupan terdahulu melalui lensanya yang khusus. Maut merupakan hal yang pasti bagi kita semua, tetapi bagaimana kita menghayati sisa hari hari kita itu terserah pada kita sendiri.

"Satu hal yang sangat ingin saya lakukan, adalah berbuat sesuatu buat membalas budi baik Pak Warsito. Meski sebagai orang biasa seperti saya, kadang gak ngerti apa yang bisa saya lakukan buat beliau."

Toni menatap saya dengan harapan mendapat jawaban.

Saya juga diam sambil termenung. Karena saya pun perempuan biasa yang tidak memiliki kemampuan apa-apa.

"Melihat Pak Toni sehat seperti sekarang saja saya kira sudah merupakan kado kebahagiaan yang luar biasa buat Pak Warsito. Saya yakin itu," jawab saya.

Saya selalu melihat binar kebahagiaan di mata Pak Warsito, setiap kali berjumpa dengan orang-orang yang telah sehat dengan ECCT-nya.

Mengetahui bahwa seseorang bisa hidup lebih mudah karena keberadaanmu, itulah arti kebahagian yang sesungguhnya. Menjadi jawaban atas do'a seseorang adalah sebuah kesuksesan luar biasa.

Keberhasilan dan kesuksesan tak selalu diukur dengan medali dan kemenangan. Keduanya diukur oleh perjuangan dalam ketulusan.

Orang terkuat tak selalu orang yang menang, melainkan orang yang tak pernah menyerah. Setiap orang mempunyai kesempatan tanpa batas. Yang terbaik adalah yang terus maju, dan yakin bahwa langit bukanlah batas. 

Biarkan selebihnya di tangan Tuhan.

(Nurbadi'ah Barliyan)

Tentang ECCT: https://c-techlabs.com/electro-capacitive-cancer-therapy-ecct-devices/


Comments