SEMPAT SUDAH DIBACAKAN TALQIN SAAT DI ICU KARENA KANKER DI BATANG OTAK, BANGKIT KEMBALI HINGGA MENYELESAIKAN KULIAH SARJANA ELEKTRO

Kisah perjuangan seorang mahasiswa yang terkena kanker di pusat otak, semua bentuk pengobatan telah dilakukannya, 9 kali operasi, kemudian radiasi, tetapi tak mampu menahan perkembangan tumornya, berakhir tak bisa melihat, dan harus berhenti kuliah; Pertemuannya dengan ECCT membuatnya bangkit kembali hingga bisa menyelesaikan kuliah.



 Oleh: Nurbadi'ah Barliyan

"Maaf, bu, di dalem nanti dikasih apa yaa?" tanya  ibunya Aji kepada orang yang duduk di kursi antrian di sebelahnya.

"Tergantung kena kanker apa...," jawab orang yang ditanya.

Ibu Aji membayangkan akan diberi air putih yang sudah dijampi-jampi atau jimat-jimat seperti banyak sekali yang dia dengar di negeri yang mayoritas beragama ini.

Kalaupun ini ternyata syirik, ibu Aji sudah bertekad akan meninggalkannya. Tapi dia harus tahu dulu seperti apa pengobatannya. Karena teman yang mengantarnya ke sini juga sebetulnya tak paham bagaimana cara pengobatan kanker di klinik ini.

Melihat antrian yang sebegitu rame  dan bukan medis, hati ibu Aji cemas, khawatir kalau ini semacam klinik perdukunan. Ketika dia melihat seorang lelaki lewat menjinjing tas, dia cocokkan dengan foto orang yang mau dia cari. Foto yang dia dapat dari selebaran yang ia terima dari saudarnya semalam. 

Keberadaan klinik ini sudah ramai menjadi banyak diskusi diberbagai kalangan. Tapi Ibu Aji tak ada waktu untuk menyimaknya. Hari-harinya penuh dengan debaran jantung yang selalu berdentam. Aji anaknya hampir selalu berada dalam kondisi kritis.

Dari sekilas yang dia lihat, sepertinya pas dengan foto yang dia pegang. Tak keliatan tampang dukun di wajah itu. Hatinya agak sedikit lega. 

Dengan semangat '45 mereka berangkat diantar teman dan suaminya yang cemberut saja.  Beliau tidak setuju untuk mengobati anaknya ke klinik riset kanker ini. Karena ini bukan medis, tak bakal jauh dari klenik. Begitu yang ada di benak sang Ayah. Membayangkan anaknya akan dibacai mantera-mantera saja sudah membuat perutnya mual.

Sudah banyak sekali kerabat mereka yang datang menawarkan berbagai bantuan melihat kondisi  Aji yang tak kunjung sembuh. Ada yang menyuruh membaca sesuatu kemudian bacaannya nanti dilempar ke genteng. Tentu saja bukan disuruh baca komik doraemon atau shinchan. 

Ada juga yang menyuruh agar Aji ditidurkan di depan pintu, kemudian diberikan bacaan-bacaan. Orang-orang yang sayang dan simpati dengan kondisi Aji. 

Aji adalah seorang remaja yang bisa dibilang tidak pernah berada dalam kondisi sehat. Sejak kecil Aji tumbuh seperti anak-anak lain seusianya. Sampai suatu hari Aji tiba-tiba merasa sakit di kepalanya dan  seluruh tubuhnya lemas. Kemudian sakit itu hilang. Begitu berulang. Kalau pagi Aji kesakitan, sore sakit itu kembali lagi. Di siang hari ketika rasa sakit itu pergi, Aji bisa bermain bersama teman-teman sebayanya. Ketika itu Aji sudah duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Aji memang anak yang sangat kuat. Dia tidak pernah mengeluh.

Sampai suatu sore ketika sedang menonton televisi Aji berkata pada ibunya: "Kenapa TV-nya gemerecek?." Ibunya bingung karena kondisi TV baik-baik saja. Esoknya begitu lagi ucapan Aji.

Orang tua Aji kemudian membawa Aji ke optik untuk memeriksakan matanya. Tapi optik mengatakan kalau mata Aji baik-baik saja. Kemudian mereka membawa Aji ke dokter umum. Aji hanya dianggap kurang gerak dan dianjurkan untuk rajin berolahraga. Kondisi yang membuat mereka bingung. 

Suatu hari Aji muntah-muntah. Tapi gaya muntahnya tak seperti muntah kebanyakan. Beda banget... Aneh...

Hari itu ibunya yang dinas di rumah sakit di Surabaya, bertemu dengan temannya yang berprofesi sebagai dokter syaraf; ibu menceritakan kecemasannya. Gaya muntah Aji yang aneh menurut dia. 

Temannya ini justeru menyuruh ibu  segera membawa Aji ke rumah sakit saat itu juga. Aji mulai menjalani pemeriksaan. Dari pemeriksaan diketahui di otak Aji dipenuhi oleh cairan. Hari itu juga tim dokter melakukan rapat darurat untuk segera melakukan tindakan operasi. Pemasangan selang untuk membuang cairan yang sudah memenuhi rongga otak di kepala Aji.

Aji dinyatakan hydrocepalus. Lemas rasanya seluruh sendi ibunya. Semesta terasa gulita. Terbayang Aji  yang harus merasakan sayatan pisau bedah di usianya yang masih muda. Ibu Aji terbenam dalam kubangan air mata yang seakan tak pernah habis. Bukan hanya karena operasinya saja, tetapi vonis hydrocepalus membuat jiwanya gemetar. 

Setelah operasi Aji tergeletak selama tujuh hari di ruang ICU. Ibu setia di sisi Aji dengan lantunan do'a yang tak pernah putus. Kondisi Aji tidak pernah stabil. Kadang sadar, kadang meracau.

Suatu hari Aji tampak sangat lemah dengan nafas tersengal, dia dikembalikan ke ruang operasi. Dokter mengganti selang yang sudah penuh dengan sumbatan. Dan itu terulang di bulan yang sama. Tiga kali operasi dalam satu bulan. 

Entah bagaimana rasa sakit yang dirasakan Aji. Dia tidak pernah mengeluh sama sekali. Air mata ibunya pun seakan sudah kering terkuras. Hanya bisa berharap ia memiliki tubuh yang kuat untuk mendampingi belahan jiwa raganya.

Hati ibu Aji terus meratap penuh tanya, kenapa harus anak saya? Ibu terus berjuang menepis semua kemungkinan terburuk. Ibu masih sangat ingin lama menyayangi dan mengurus Aji, mengomelinya meski nyaris tak pernah berulah. Aji anak lelaki yang manis tak petakilan.

Ketika akhirnya Aji keluar dari rumah sakit, kondisinya masih sangat menyedihkan. Aji berangkat sekolah kalau kondisinya sedang sehat. Guru dan teman-teman sangat menjaga Aji karena tahu kondisinya. Beberapa kali dia terbentur tembok karena tiba-tiba hilang kesadaran. Kalau sudah begini Aji kembali dirawat di rumah sakit. 

Orang tua mana yang tidak sedih melihat kondisi ini. Harusnya di usia seperti  Aji sibuk dengan permainan berlarian, main bola, petak umpet. Tapi Aji terus bercengkrama dengan pisau bedah di ruang operasi dan selang-selang infus yang bergelantungan di sekeliling tubuhnya. Harusnya anak seusia Aji sedang memanjat pohon jambu di halaman rumah tetangga.

Selalu setiap kali habis operasi tim dokter akan menyalami bapak dan ibu dengan ucapan “sabar”. Ibu Bapak paham bahwa mereka harus tetap kuat dalam menjalani kehidupan. Sebesar apapun hal yang menyakitkan menimpa menghimpit jiwa raga.  

Anak sakit, bapak di PHK. Tapi mereka tahu hidup itu seperti roda, selalu berputar, tidak berhenti di satu titik saja.  Akan ada yang pergi lalu datang mengganti. Ada masa kita bisa tertawa, dan kemudian menangis. Namun hidup tetap berjalan.

Pernah suatu hari begitu selesai operasi, ranjang Aji disuruh geser menghadap ke arah kiblat saja. Dokter tampak putus asa menghadapi kondisi Aji. 

Pernah juga begitu selesai operasi dokter berkata: "Bapak ibu kan masih ada dua lagi yah..?" 

Ibu mengerti maknanya. 

Tim dokter pun sudah tak tahu harus berbuat apa. Hal yang membuat pikiran bergejolak bagai ombak menggempur karang. Mereka tak hanya jatuh terlempar, juga terpental, terguling-guling. Ada masa mereka menyadari jika ternyata jiwa mereka sebagai manusia sangat  rapuh.  

Benteng pertahanan seakan tak mampu lagi menampung beban derita ini. Di hadapan-NYA ibu dan bapaknya hanya mampu bersimpuh dalam tangis dan harapan yang mulai menyusut. 

Sebuah bentuk arsitektur kehidupan yang begitu melelahkan. Hanya bisa mengadu pada Allah, memohon terus diberi kesempatan mendampingi Aji. Meski dia tahu kondisinya sangat berat, tapi semangat Aji tak pernah padam. 

Setiap waktu timbul kesadaran Aji selalu berkata lirih: "Aku mau sekolah..."

Di tengah kepedihan yang tak kunjung sirna, saat tubuh Aji tampak sudah sangat lemah dengan nafas yang sangat pelan, ibu Aji mulai membisikkan zikir di telinga Aji: “Laa ilaaha illallaah... Laa ilaaha illallaah... Laa ilaaha illallaah...” 

Begitu terus berulang-ulang. Dengan air mata yang tak henti menetes membasahi pipi. Sampai suatu ketika Aji berkata: "Bu, aku belum mau mati. Cuma lemes."

Dengan kondisi yang sering sakit-sakitan Aji berhasil lulus Sekolah Dasar. Sering mengalami pingsan di sekolah atau kondisi tak memungkinkan untuk berangkat sekola, surat izin sakit Aji entah sudah berapa banyak. Hingga selesai SD Aji sudah menjalani sembilan kali operasi terkait dengan cairan di otaknya.

Masa SMP dan SMA perjalanan  terasa begitu indah. Aji tumbuh semakin sehat. Meski kadang tetap kontrol ke rumah sakit, tapi semua relatif baik-baik saja. Hingga suatu hari, tak lama setelah Aji lulus SMA dan menyelesaikan ujian masuk perguruan tinggi tiba-tiba Aji pingsan, tergeletak lemah. Langsung mereka berangkat ke rumah sakit dan kembali melakukan banyak pemeriksaan.

Dari hasil pemeriksaan MRI ditemukan adanya tumor di batang otak Aji. Dokternya menjelaskan bahwa itu adalah hal yang ternyata menjadi pemicu kondisi Aji tidak pernah sehat selama ini. Ada tumor yang menempel di sana sudah sebesar 0,8 cm pada area yang disebut pineal, di atas batang otak. 

Secara ukuran tumor otak masih relatif kecil, tapi untuk ukuran tumor di batang otak, itu adalah ukuran yang cukup besar. Tetapi karena posisinya yang melekat ke batang otak dokternya di Surabaya tak berani mengambil tindakan operasi.

Di luar dugaan hasil ujian masuk ke perguruan tinggi ia diterima di ITS jurusan Teknik Elektro. Kondisinya sering naik turun, sehingga ia harus diantar dan dijemput oleh ayahnya untuk pergi kuliah dari rumahnya di daerah Gunung Sari. 

Kondisinya makin lama makin menurun. Akhirnya dokternya menyarankan Aji untuk dirujuk ke rumah sakit besar Jakarta.

Di rumah sakit di Jakarta Aji menjalani radioterapi. Hasil radioterapi awalnya perkembangannya cukup bagus. Ukuran tumornya semakin mengecil. Berjuta harapan kembali terukir indah.

Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari Aji kembali tidak sadarkan diri lagi. Hasil MRI ternyata tumor yang tadinya sudah hancur menyebar ke area batang otak, talamus (pusat otak) dan jaringan otak yang menjadi pusat penglihatan. Semua tim dokter panik. Ibu dan bapak terbelenggu dalam kecemasan dan ketakutan yang amat sangat. Dokter melakukan rapat darurat selama lebih dari tiga jam, tetapi tak bisa mengambil kesimpulan.

Kondisi Aji kian menurun, tanpa ada solusi. Ia kembali dibawa pulang ke Surabaya. 

Kantung mata Aji turun berkerut kecapean, akibat tertarik massa tumor yang menginvasi pusat penglihatan. Ingatannya hilang timbul mengingatkan pada eyang akung eyangti yang sudah sepuh. 

Pernah suatu hari Aji minta dibelikan burger. Belum habis makanan itu dia lahap, tiba-tiba dia menatap burger di tangannya dengan ekspresi jijik: "Apa ini?" teriaknya  marah. "Kenapa ada ini? Bau sekali, "katanya sambil menyingkirkan jauh-jauh makanan itu dari sisinya. Padahal dia yang minta dibelikan pada ayahnya. Tapi kemudian dia sendiri yang lupa.

Kedau orangtuanya membutuhkan berlipat-lipat kesabaran dalam  menghadapi Aji. Suatu hari ayah Aji disarankan tim dokter untuk menemui seorang dokter spesialis bedah saraf yang sangat terkenal yang biasa menangani kasus seperti Aji. 

Tetapi untuk bisa mendapatkan waktu untuk konsultasi dengan dokter spesialis itu harus menunggu waktu 3 bulan, dan Aji harus dibawa lagi ke Jakarta. Kondisinya semakin menurun, penglihatannya hampir gelap. Hal itu yang membuatnya paling sedih, karena tak bisa baca lagi, apalagi kuliah.

Tekadnya untuk sembuh sangat besar karena ia ingin bisa kuliah lagi. Karenanya meskipun harus menanti panjang dan melewati perjalanan berat naik pesawat dari Surabaya ke Jakarta dengan penglihatan yang hampir gelap ia jalani, didampingi oleh kedua orangtuanya. 

Setelah penantian yang 3 bulan di akhir 2012, akhirnya  pertemuan yang dinantikan pun terjadi. Tetapi jawaban dokternya membuat seluruh harapannya pupus.

"Kamu tak usah banyak mau. Lupakan  kuliah," kata dokter spesialis bedah saraf. 

"Mending kamu belajar nyanyi saja, kan banyak yang bisa nyanyi meskipun tak bisa melihat, kayak Stevie Wonder. "

Tentu saja Aji sangat kecewa mendengar jawaban itu. Tetapi untuk kasus kanker otak yang diidapnya, secara medis memang tak ada solusi.

Aji adalah anak yang senang bergelut mesra dengan pena dan lembar putih bergaris. Dia adalah anak yang selalu merindukan buku. Dia senang  berjibaku menggali ilmu. 

Tiap orang punya mimpi, tapi tidak semua orang punya semangat tinggi untuk menggapainya. Hal yang sangat membuatnya putus asa ketika ia tidak bisa membaca lagi.

Dalam keputusasaan baik Aji sendiri maupun kedua orangtuanya, mereka bertiga kembali ke tempat penginapan di rumah saudaranya di wilayah Bintaro, Tangerang. Mereka telah merencanakan untuk kembali ke Surabaya besok paginya. 

Malam itu saudaranya sempat cerita sambil menunjukkan selebaran tentang pengobatan baru dengan rompi dan helem di area Alam Sutera yang tidak jauh dari tempat mereka menginap. Ayahnya kebetulan sudah pernah dengar cara pengobatan itu yang dilakukan oleh Dr. Warsito yang sempat juga dibahas di mesjid dekat rumahnya. 

Tetapi ayah Aji menolak keras untuk membawa Aji ke praktek pengobatan yang tak jelas itu. Hanya ibu Aji meminta untuk paling tidak mencoba untuk cari tahu. Ia janji kalau ternyata itu praktek dukun ia akan pulang kembali. 

Ayah Aji dengan penolakan di hatinya, akhirnya mengantar Aji dan ibunya ke klinik riset kanker di Alam Sutera, Tangerang. 

“Kamu saja yang masuk, aku gak mau masuk,” kata ayahnya ke ibunya. 

Sekelas dokter bedah nomor satu saja tak punya solusi, buat apa buang-buang waktu ke tempat yang tak jelas seperti ini pikirnya. Ibunya yang akhirnya konsul ke dalam bersama Aji, sedangkan ayahnya menunggu di luar. 

Aji mendapat jadwal konsultasi besok pagi. Mereka disuruh kembali esok hari dengan membawa hasil MRI terakhir yang masih di rumah sakit yang katanya masih akan dipelajari. Esok hari mereka kembali dengan membawa hasil MRI dari rumah sakit. 

Konsultan klinik melakukan pemeriksaan terhadap MRI otak Aji, kemudian membuat desain alat untuk kepala dan mengukur kepala Aji. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan dan menunggu cukup lama, akhirnya sore harinya Aji bisa mendapatkan alat ECCT. Mereka langsung menuju bandara untuk pulang ke Surabaya dengan harapan baru.

Sampai di rumahnya di Surabaya waktu sudah mendekati tengah malam. Aji langsung memakai alat berupa tutup kepala selama tidur.

 “Rasa sakit menggila,” katanya, menggambarkan sakit kepala yang dirasakannya ketika memakai alat itu.

Tetapi karena kemauan kuatnya ingin sembuh, maka tetap dipakainya alat itu. “Saya tak ingin mati tanpa mencoba. Dosa besar saya kalau saya mati tetapi tak berusaha terlebih dahulu.”

Dua hari Aji melakukan perjuangan melawan sakit ketika pakai alat, tak terasa sakit kepala yang sangat yang dia rasakan di awal mulai berkurang dan berangsur-angsur hilang. Dan ketika ia mulai kembali memegang Al Quran, tak terasa dia bisa melihat kembali tulisan ayat-ayat Al-Qur’an.

Melihat Aji bisa melihat lagi, ayahnya mulai penasaran: “Jangan-jangan alat ini memang beneran,” pikir ayahnya. Ayah menyodorkan Al Quran yang berukuran besar yang biasa ia baca ke Aji untuk mencoba membacanya.

"Tak usah, ini aja aku bisa baca, kok, " tolak Aji sambil terus mengaji membaca Al-Qur’an.

Hati ayah meskipun masih ragu mulai mengakui keampuhan alat berupa helem berwarna hitam yang disambungkan dengan kotak batere berisi batere AA dua buah itu.

Setelah tiga belas tahun bercengkrama dengan operasi, rumah sakit dan kondisi antara hidup dan mati,  hanya dua malam Aji mulai melihat terang sebagai tanda akhir dari terowongan gelap yang dialaminya selama ini, dan kembali lagi bisa membaca Al Quran setelah selama 3 bulan benar-benar gelap. 

2 tahun kemudian, hasil MRI nya dinyatakan bersih dari tumor, dan ia kembali ke kampus untuk meneruskan kuliahnya. 2 tahun setelah kembali ke bangku kuliah Aji berhasil lulus dan diwisuda sebagai sarjana teknik elektro dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. 

Saat diwisuda ia genap mencapai 5 tahun sebagai survivor kanker otak sejak pertama didioagnosa kanker pada awal tahun 2012.

Ia bukan hanya kembali bisa melihat, tetapi juga bisa menyelesaikan kuliahnya di salah satu universitas terbaik di negeri ini, dan di salah satu jurusan yang paling sulit. 

September 2022, genap 10 tahun sejak pertama Aji mengalami kehilangan penglihatannya ia ingin sekali melihat Jembatan Suramadu. Terakhir ia melihatnya adalah ketika waktu SMA ia datang ke situ dengan naik sepeda dari rumahnya beberapa waktu sebelum pingsan dan divonis tumor batang otak. Pak Warsito datang langsung dari Jakarta untuk mengantarnya. 

10 tahun mengenang kembali masa kecilnya yang hampir hilang karena sakit. Jembatan Suramadu yang membentang hingga ke laut seolah-olah ikut menyanyikan bait lagu Stevie Wonder yang membantunya untuk tidak berputus asa dalam hidup, dan menemukan kembali harapan hidup yang sempat pupus:

You are the Sunshine of my life

that's why I'll always be around.

You are the apple of my eye

Forever you'll stay in my heart.

*Stevie Wonder*

-------------------------------------------------------------------------

Tentang ECCT: https://c-techlabs.com/electro-capacitive-cancer-therapy-ecct-devices/

Comments