KANKER PARU-PARU HILANG SETELAH 3 BULAN DENGAN ECCT, MUNCUL KEMBALI SETELAH VAKSIN 4 TAHUN KEMUDIAN

Didiangnosa kanker paru-paru stadium lanjut pada usia lanjut (64 tahun), Bu Soewarti tak ada pilihan banyak untuk pengobatan. Dokternya memberikan obat kemo oral dan menyarankan terapi dengan ECCT. 3 bulan setelah pakai alat ECCT, massa tumornya sudah tak terdeteksi. Tetapi 4 tahun kemudian setelah masa pandemi dan mengikuti beberapa kali vaksin tumornya muncul kembali dan bertambah banyak. Ia kemudian memakai alat ECCT lagi dengan alat terbaru yang sudah disesuaikan dengan karakter tumor yang baru. 

Gambar: Kanan: Gambar hasil rontgen dan CT scan awal sebelum pemakaian alat (2019); Gambar rontgen yang menunjukkan massa sudah tak terdeteksi setelah pemakaian 3 bulan (9/2019); Gambar rontgen yang menunjukkan massa muncul lagi (7/2023); Gambar rontgen dan CT scan setelah pemakaian lagi 3 bulan dan 1 tahun; Kiri: Foto Bu Soewarti (5/2024) genap 5 tahun sejak pertama didiagnosa kanker paru-paru. 


Soewarti (64) didiagnosis mengidap kanker paru-paru pada pertengahan tahun 2019. Awalnya ia mengeluhkan sesak nafas yang terus-menerus selama 2 minggu meskipun sudah mendapatkan obat dari dokter. Kemudian ia dibawa ke rumah sakit dan dilakukan rontgen dan CT scan, terdeteksi adanya efusi pleura masif di paru kirinya yang menyebabkan dia kesulitan bernapas. CT scan menunjukkan adanya massa dengan ukuran 3 cm pada lobus superior paru-paru kirinya, dan telah mengalami penyebaran ke kelenjar getah bening di area mediastinum (dada tengah) yang kemungkinan munculnya cairan efusi pleura masif. 

Hasil biopsi menunjukkan kanker ganas, jenis adenokarsinoma. Tipe ini mempunyai prognosis yang buruk. Rata-rata harapan hidup penderita kanker paru stadium 4 kurang dari satu tahun. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun hanya 5%.Opsi terapi untuk kanker paru-paru stadium lanjut juga sangat terbatas. Dokter Bu Soewarti hanya memberikan obat kemo oral. 

Karena opsi pengobatan yang sangat terbatas Bu Soewarti disarankan oleh dokternya untuk menggunakan ECCT. Sebelum melakukan terapi ECCT, cairan di paru-parunya dilakukan fungsi (penyedotan) terlebih dahulu, karena selain menyebabkan sesak nafas yang sangat juga mengganggu proses terapi medan listrik ECCT. Medan listrik yang dihasilkan oleh alat aparel ECCT menjadi flat (datar) dengan adanya cairan di dalam paru-paru, akibatnya gaya listrik yang bekerja pada tumor menjadi berkurang atau hilang. Akan tetapi cairan paru-paru umumnya terus berproduksi meskipun telah dilakukan penyedotan hingga akhirnya tak berproduksi lagi setelah 3-4 bulan pemakaian alat ECCT. 

Alat yang dipakai Bu Soewarti adalah bentuk rompi untuk terapi massa di paru-paru serta helem penutup kepala untuk pencegahan penyebaran ke otak. Alat ECCT selalu diberikan dengan area cakupan (coverage area) untuk menjangkau massa primer dan kemungkinan penyebaran ke area sekunder dan tertier. Bu Soewarti disarankan hanya pakai 2X15 menit sehari selama 2 minggu pertama. Jumlah jam pemakaian sudah berkurang dibanding alat ECCT awal yang dipakai sehari hingga 16 jam. 

Tiga bulan pemakaian massa tumor yang tadinya berukuran 2-3 cm juga sudah tidak terdeteksi pada gambar rontgen yang baru. Sesak nafas dan keluhan lainnya hilang hanya dalam waktu relatif singkat. Kondisinya normal, aktifitasnya juga normal. Ia juga memberhentikan obat kemo oral dari dokternya. Hanya memasuki masa pandemi Covid 19 mulai akhir 2020 Bu Soewarti jarang kontrol lagi. Bu Soewarti terus menggunakan alat ECCT untuk preventif meskipun massa sudah mengecil dan tak berkembang. 

Ia mulai mengalami sesak napas lagi setelah beberapa kali melakukan vaksinasi selama pandemi. Keluhan sakitnya bertambah di dada kiri. Gambar X-ray dan CT scan baru menunjukkan perkembangan massa di lokasi awal tumor, yang tidak berubah selama 3 tahun. Selain lokasi awalnya, beberapa lesi juga terdeteksi di paru-paru kirinya. Hanya karakter tumornya berbeda dibanding dengan massa awal 4 tahun sebelumnya, massa baru yang muncul cenderung terselubung selaput, terdiri dari beberapa lesi terlobulasi yang menempel pada dinding pleura dan dekat jantung. Ada kemungkinan massa tumbuh kembali akibat sumbatan pada bronkos yang muncul setelah vaksin; Sumbatan bisa terjadi akibat terjadinya proses fibrosis (jaringan parut) yang terjadi setelah kematian massa tumor awal. 

Efek vaksin tak serta-merta berakibat pada munculnya kanker, tetapi adanya sumbatan karena darah yang tak lancar pada area fibrosis bisa menyebabkan penumpukan vaksin yang menyebabkan terjadinya proses peradangan terus-menerus dan munculnya keganasan. 

Karena tipe jaringan tumor yang berbeda dengan massa awal, bu Soewarti mendapatkan alat baru yang disesuaikan dengan tipe sel yang baru mulai pertengahan 2023. Alat yang terbaru memberikan efek pada pembuangan cairan di dalam massa tumor yang terlobulasi. Rompinya juga diganti dengan bentuk balnket untuk memberikan coverage yang lebih efektif. Dia memulai pengobatan ECCT lagi dengan perangkat yang ditingkatkan. Setelah 3 bulan, lesinya mulai menyusut kembali, beberapa lesi baru yang muncul kembali sudah hilang.  

Memasuki pertengahan 2024, genap 5 tahun sejak pertama didagnosa kanker paru-paru kondisi Bu Soewarti sangat sehat, keadaannya normal dan aktif. Hasil CT scan terbaru menunjukkan massa tumor yang semakin menyusut, sebagian tak berkembang sejak setahun sebelumnya.

Semoga tetap sehat buat Bu Soewarti (WS).

Comments