KANKER DI PINEAL PASCA RADIASI MENYEBAR KE BATANG OTAK DAN TALAMUS, BISA BERSIH TANPA OPERASI DENGAN ECCT

Dari usia 6 tahun Ajie sudah mengalami hidrosefalus, dan menjalani operasi pasang VP shunt hingga 9 kali. Pada usia 21 tahun didiagnosa kanker di kelenjar pineal pada daerah mesenchepalon. Kemo dan radiasi telah dilakukan, hasil pemeriksaan MRI pasca radiasi malah terjadi penyebaran luas ke pons dan thalamus, menyebabkan kebutaan total. Setelah tak ada alternatif lain Ajie kemudian mencoba ECCT. Hanya 3 hari setelah pakai ECCT dan setelah mengalami kebutaan selama lebih dari 3 bulan, ia bisa melihat dan membaca kembali. Hasil pemeriksaan MRI setelah 1 tahun menunjukkan massa tumor yang menyusut hingga 80%, setelah 2 tahun menyusut lagi hinga hampir hilang, dan dinyatakan remisi setelah 3 tahun pemakaian. Melewati 13 tahun sejak pertama kalai didiagnosa kanker pineal hingga mengalami kebutaan total Ajie dalam keadaan sehat dan mandiri, meskipun masih ada keluhan saraf mata yang ketarik menyebabkan juling, kemungkinan efek bekas jaringan kanker yang menyisasakn jaringan parut. 

Gambar: Paling KANAN: Gambar MRI awal pasca radiasi dan kemo sebelum pakai ECCT, setelah pemakaian 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun yang menunjukkan penyusutan massa tumor hingga bersih; TENGAH: Foto Ajie ketika melewati 5 tahun saat bersamaan dengan wisuda sebagai sarjana teknik elektro ITS dan ketika melewati 10 tahun; KIRI: Foto Ajie terakhir melewati 13 tahun.


Dari kecil Ajie mengalami kelainan pada kelenjar otak yang memproduksi cairan otak, menyebabkan hidrosefalus. Sakit kepala dan muntah-muntah yang tak wajar sering dialaminya. Hasil pemeriksaan CT scan ia dinyatakan hidrosefalus, cairan otak yang terbendung dan mandek, menyebabkan penekanan tinggi di dalam otak yang berakibat kepala berat.  Belum diketahui penyebabnya. Untuk mengatasi cairan otak yang terbendung Ajie menjalani operasi pemasangan shunting. Tetapi keluhannya selalu muncul kembali, tak pernah benar-benar hilang, sehingga ia harus menjalani operasi perbaikan atau pemasangan ulang selang VP shunt hingga sebanyak 9X sampai ia lulus SD. 

Selama SMP dan SMA kondisi Ajie relatif baik, ia menyelesaikan sekolahnya dengan baik. Ia mendaftar ujian masuk perguruan tinggi salah satu terfavorit di Indonesia yang ada di Surabaya dan memilih jurusan yang cukup sulit: Teknik Elektro ITS. Ujiannya lancar, tetapi tak lama setelah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi ia tiba-tiba mengalami pingsan. Ia menghadapi kegamangan yang luar biasa layaknya anak remaja baru lulus SMA menanti hasil ujian masuk PT sambil harus mengkhawatirkan kondisi terkait kesehatannya.

Awalnya Ajie dan kedua orangtuanya menduga hanya kondisi biasa karena stress. Tetapi hasil pemeriksaan MRI menunjukkan vonis yang bisa jantung ibunya berhenti berdetak: diketahui ada tumor yang menempel pada area di atas batang otak yang disebut pineal. Pineal adalah bagian otak yang berada pada otak tengah di bagian saluran otak ventrikel keempat di atas batang otak dan otak kecil. Bagian ini berfungsi sebagai kelenjar endokrin kecil yang menghasilkan hormon melatonin untuk mengatur siklus tidur. Gangguan produksi melatonin oleh kelenjar  ini dapat mengakibatkan gangguan tidur, kanker, depresi, autisme, dan lainnya. 

Dari hasil MRI otak Ajie didapati tumor sebesar kurang dari 1 cm yang cenderung ganas. Untuk massa yang relatif masih kecil dan ganas kemungkinan massa baru yang muncul belum terlalu lama, kemungkinan di bawah masa 3-6 bulan, yang berarti masa-masa Ajie menjalani persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Massa yang muncul kemungkinan bukan yang menyebabkan hidrosefalus ketika ia SD, tetapi kemungkinan penyebabnya sama: yaitu kemungkinan adanya sumbatan pada saluran kelenjar hormon. 

Salah satu penyebab munculnya gangguan otak hingga kanker pada jaringan produksi hormon adalah ketika produksi hormon meningkat, salah satunya karena stress. Ditambah dengan adanya gangguan pada saluran hormon akibat adanya sumbatan bisa menyebabkan munculnya radang berketerusan hingga keganasan atau kanker. Radang yang berketerusan diduga menjadi penyebab munculnya pembengkakan pada kelenjar pineal yang menyempatkan saluran cairan otak (ventrikel keempat) dan berefek pada hidrosefalus ketika Ajie masih di Sekolah Dasar. Radang berketerusan ketika Ajie mengikuti ujian masuk perguruan tinggi kali ini tak berhenti pada pembengkakan saja tetapi berakhir menjadi kanker. 

Secara ukuran tumor yang dialami oleh Ajie relatif masih kecil (awal), tetapi karena posisinya yang krusial di pusat hormon dan menempel di batang otak bagian luar dokternya tidak berani mengambil resiko operasi. Dokternya akhirnya menyarankan untuk memberikan kemo, meskipun secara kasusnya sudah diketahui bahwa kemo tak akan menahan laju perkembangan tumor Ajie. 

Hasil ujian masuk ITS Ajie keluar, dan dia dinyatakan lulus di Jurusan Teknik Elektro. Jurusan yang sulit meskipun untuk anak yang normal, sementara baginya bukan hanya tantangan menyelesaikan perkuliahan saja tetapi juga harus bergelut dengan penyakit mematikan kanker di tengah-tengah otaknya.

Hari-hari Ajie selanjutnya diisi dengan kegiatan antara keluar dan bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani kemo selama 2011-2012. Ia harus diantar jemput oleh bapaknya pergi dan pulang kuliah. 

Hasil pemeriksaan pertama keluar awal 2011 pasca menjalani serangkaian kemoterapi. Seperti yang diduga dari awal tumor tetap membesar. Akhirnya Ajie dirujuk ke rumah sakit besar di Jakarta untuk menjalani radioterapi. 

Serangkaian radioterapi dijalaninya dengan peralatan yang mutakhir yang ada di Indonesia saat itu. Tumornya berhasil mengecil setelah serangkaian radioterapi dijalani Ajie di rumah sakit di Jakarta. Harapannya mulai bangkit kembali setelah balik ke Surabaya dan mengikuti perkuliahan kembali. 

Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari Aji kembali tidak sadarkan diri lagi. Hasil MRI di Jakarta setelah ternyata tumor yang tadinya sudah menyusut ternyata tumbuh kembali dan menyebar ke area batang otak, talamus (pusat otak) dan jaringan otak belakang yang disebut visual cortex yang menjadi pusat penglihatan. 
Kondisi Aji kian menurun, is dibawa pulang kembali ke Surabaya tanpa solusi.

Kantung mata Aji turun berkerut kecapean, akibat saraf penglihatannya tertarik massa tumor yang menginvasi pusat penglihatan. Kondisinya semakin menurun, penglihatannya hampir gelap. Hal itu yang membuatnya paling sedih, karena tak bisa membaca lagi, apalagi kuliah. "Bagaimana aku bisa kuliah, sedangkan aku tak bisa baca buku lagi," ujarnya dalam keputusasaan.

Harapannya sempat pulih kembali ketika ia mendapat kar untuk bisa konsultasi ke seorang dokter ahli bedah saraf yang sangat terkenal di Tangerang. Tekadnya untuk sembuh sangat besar karena ia ingin bisa kuliah menyelesaikan kuliah yang ia dambakan dari sejak kecil. Karenanya meskipun harus menanti hingga 3 bulan waiting list dan melewati perjalanan berat naik pesawat dari Surabaya kembali lagi ke Jakarta dengan penglihatan yang hampir gelap ia jalani, didampingi oleh kedua orangtuanya.

Setelah penantian panjang di akhir 2012, akhirnya  pertemuan yang dinantikan itu pun terjadi. Tetapi di luar dugaab jawaban dokternya membuat seluruh harapannya pupus kembali: "Saya telah melakukan ratusan operasi otak, tetapi untuk kasus ini tak ada yang bisa dilakukan lagi," kata dokter spesialis bedah saraf itu. 

Bukan penglihatannya saja yang gelap pikirannya dan pikiran kedua orangtuanya menjadi ikut gelap setelah mendengar jawaban dokternya. Ayahnya memutuskan dan memesan tiket pesawat balik ke Surabaya esok harinya. Sudah tak ada yang bisa dilakukan lagi di Jakarta, pikirnya. 

Esok harinya dalam perjalanan ke bandara dsri Bintaro tempat menginap di rumah saudara atas saran dari saudaranya itu ibunya membawa Ajie menyempatkan mampir ke C-Care Riset Kanker di Alam Sutera. Sempat mengalami keraguan yang luar biasa terkait metode terapi yang diberikan menggunakan seperangkat helem yang memancarkan medan listrik yang disebut ECCT. Terutama bagi ayahnya yang cukup terdidik dan sangat berorientasi dengan cara pengobatan medis menurutnya sangat tak ilmiah dan buang-buang waktu. Ayahnya bahkan tak mau masuk ke dalam ikut konsultasi. 

"Semua dokter di di Surabaya dan Jakarta telah kita datangi, semua peralatan dan teknologi kedokteran yang ada sudah dipakai, itu pun tidak bisa. Bagaimana tempat seperti ini bisa membantu?" pikir ayahnya kritis.

Ayahnya lebih skeptis lagi melihat peralatan ECCT yang diberikan berupa penutup kepala disambung dengan kabel ke kotak batere. "Macam alat ces-cesan hape," pikirnya. Tetapi ayahnya tetap membiarkan isterinya membayar untuk mendapatkan alat itu, dan membiarkan Ajie memakainya setelah pulang ke Surabaya. 

Keinginan Ajie yang luar biasa dan pantang menyerah untuk bisa melihat kembali dan menyelesaikan kuliahnya yang sempat terputus karena ia tidak bisa membaca lagi membuatnya terus berusaha mencari alternatif pengobatan kanker di otaknya. Ia terus mencari jalan alternatif yang secara kedokteran modern sudah tidak mungkin. Akhir 2012 Ajie memulai perjuangan baru dengan alat ECCT, setelah semua jalur medis ditempuhnya. 

"Sakit gila," katanya ketika mencoba pertama kali pakai alat helm ECCT, tetapi ia tak melepaskannya, karena keinginannya untuk bisa melihat dan membaca kembali lebih kuat. Seiring dengan reaksi kuat yang ia rasakan ketika pakai alat itu, reaksi pembuangan yang keluar sangat ekstrim: urin yang pesing sangat menyengat, pup yang hitam bau seperti bangkai, keringat dan kotoran air mata yang tidak wajar. 

Selang 3 hari dari pertama kali pakai helem listrik ECCT yang diikuti oleh reaksi pembuangan yang sangat "busuk," secara tak sengaja Ajie bisa membaca Al-Quran yang sedang dipegangnya. Ia hampir tak percaya bahwa dirinya bisa membaca kembali. Ayahnya lebih kaget lagi melihat Ajie bisa membaca kembali dan buru-buru mengambil Al-Quran dengan tulisan yang besar-besar. "Tak perlu besar-besar, yang ini saja kelihatan," kata Ajie. Yang membuatnya ayah Ajie tak kalah heran adalah alat sesederhana itu bisa membuat putranya melihat kembali hanya dalam 3 hari, setelah selama hampir 2 tahun teknologi kedokteran paling mutakhir dan dokter terbaik tak mampu berbuat apa-apa. 

3 bulan kemudian Ajie datang ke C-Care Riset Kanker di Alam Sutera untuk konsultasi. Kali ini ayahnya datang langsung dan bertemu dengan Dr. Warsito untuk mendapatkan penjelasan cara kerja alat yang membuat putranya bisa membaca dan mendapatkan harapan hidupnya kembali. Dr. Warsito mengajaknya keliling ke lantai 2 dan 3 bangunan C-Care yang merupakan workshop dan laboratorium elektronika dan fisika medis yang di situ banyak mahasiswa dan peneliti yang sedang melakukan penelitian. Ayahnya mulai terbuka bahwa alat "ces-cesan hape" itu adalah teknologi masa depan yang efeknya sudah bisa dia lihat sendiri pada anaknya langsung.

1 tahun kemudian hasil MRI otak Ajie menunjukkan kankernya menyusut lebih dari 90%. Secara karakter tipe sel dengan kecepatan respon seperti itu adalah termasuk tipe high grade seperti astrocytoma atau high grade glioma. High grade glioma (HGG) adalah tumor otak atau sumsum tulang belakang yang tumbuh cepat dan agresif,
umum terjadi pada orang dewasa, tetapi juga dapat terjadi pada anak-anak. HGG sulit diobati dan mempunyai prognosis yang rendah karena masalah dalam pengangkatan tumor secara tuntas, mudah menyebar ke area pusat saraf dan resistensinya terhadap radioterapi dan kemoterapi. Dengan terapi medan listrik termasuk ECCT umumnya mencapai outcome yang lebih baik serta harapan hidup yang lebih tinggi.

Setahun berikutnya hasil MRI setelah pemaian 2 tahun menunjukkan massa yang sudah hampir bersih. Keluhan seperti sakit kepala yang hebat serta lemas sudah tidak ada. Dua tahun setelah pakai ECCT Ajie bisa kembali melanjutkan kuliahnya di ITS. MRI 3 tahun setelah pakai alat ia dinyatakan remisi. Akan tetapi saraf matanya masih ada yang "narik" membuatnya "juling" sehingga harus pakai kaca mata dengan diburamkan pada baguan mata sebelah kiri. Kemungkinan efek radiasi membuat sebagian sarafnya terpengaruh karena proses fibrosis menjadi jaringan parut. 

Ramadhanu Ajie berhasil lulus jurusan Teknik Elektro ITS tahun 2017, 3 tahun setelah kembali kuliah, bersamaan dengan tepat 5 tahun ia memakai alat ECCT. 

Secara umum kondisinya sehat dan mandiri. Ia sempat magang sebagai asisten peneliti di sebuah perusahaan elektronika di Tangerang. Ia hidup indekost sendiri. Hanya karena sempat pingsan di tempat kost dan dirawat di rumah sakit orangtuanya kemudian menariknya kembali ke Surabaya. Ia mengalami pingsan karena kekurangan elektrolit, kemungkinan asupan makan yang tak terjamin ketika hidup sendirian. Hasil MRI tahun 2021 menunjukkan massa yang tetap bersih, tak ada kekambuhan. Balik di Surabaya ia aktif di mesjid dan mengajar baca Al-Quran ke anak-anaj dj lingkungan rumahnya. 

Tahun 2022 genap 10 tahun sejak pertama kali pakai alat ECCT ia mulai pakai alat electro-capacitive body stimulation (ECBS) untuk kesehatan umum, membantu kondisinya yang agak lemah karena kurang gerak. Setelah rutin memakai ECBS kondisi Ajie semakin sehat, postur tubuhnya semakin baik, dan dia mulai bisa mengikuti travel jauh seperti umrah ke Mekkah dan Madinah, tour ke Bali dan Singapura serta naik gunung ke Bromo atau naik bus sendirian pulang-pergi Surabaya-Tangerang. 

Semoga tetap sehat buat Ajie (WS). 








Comments